Quantification Bias & Data Fetishism

marketeers article
Data Fetishism (Ilustrasi: 123RF)

Oleh Ignatius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science

“In God we trust, all others must bring data.” Kutipan tersebut adalah ucapan W. Edwards Deming, seorang profesor yang memiliki reputasi mengesankan dalam dunia ilmu pengetahuan dan statistik. Kutipan tersebut menekankan pentingnya data dalam ilmu pengetahuan dan juga pengambilan keputusan dalam bisnis.

Pada era digital,  banyak hal yang teruji dan terukur bisa membuat kita menjadi percaya luar biasa dengan data. Dalam diskusi-diskusi di ruang rapat perusahaan, mereka yang membawa data menjadi seolah-olah lebih paham. Data pula yang membuat storytelling seseorang tentang suatu proyek terasa lebih layak dipercaya. 

Beberapa tahun yang lalu, saya sempat melakukan analisis fenomena mengenai upaya profesional yang bekerja dari top consulting companies bisa memeroleh gaji lebih tinggi dari rata-rata orang dengan jam terbang yang sama. Salah satu hipotesis saya merujuk pada bagaimana orang-orang ini dan juga perusahaan consulting top dunia ini punya kekayaan data dalam presentasi bisnisnya. 

Silaunya kita akan data telah membuat profesi yang berhubungan dengan data, seperti data scientist, data analyst, business intelligence, dan profesi-profesi sejenisnya mendadak merangsek ke barisan profesi yang dianggap akan bersinar di masa depan. Walaupun jurusan statistik yang sangat erat berhubungan dengan data ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Bahkan, euforia pada data membuat banyak sekolah membuat jurusan baru dengan nama yang lebih menjual, seperti “data analytic”, “business mathematic”, “big data,” dan lain sebagainya. Sebaliknya, mereka yang tanpa data seringkali dianggap tidak tahu banyak dan tidak cakap. 

Memang benar bahwa banyak hal akan terjawab dari data. Bagaimana dokter mengambil kesimpulan dalam mendeteksi penyakit juga berdasarkan data, yaitu seberapa cocok gejala yang timbul dengan gejala penyakit tertentu.

Walaupun gejala yang sama bisa muncul untuk dua penyakit yang berbeda. Demam berdarah dengan tipus, misalnya, seringkali diawali dengan panas tinggi yang tidak kunjung turun. Namun, data telah menunjukkan dan mempersempit probabilitas dari berbagai kemungkinan yang ada.

Data menjadi begitu berharga dan begitu “membuat silau” karena manusia seringkali tidak konsisten. Pada musim politik yang lalu, pengikut sebuah kubu politik beramai-ramai menolak hasil pemilu karena sosok yang dijagokan kalah dalam pemilu. Mereka menolak pemilu yang merupakan metode data gathering yang valid. 

Menuduh pelaksana pemilu curang dengan alasan pelaksana pemilu tidak pernah atau jarang melihat konten positif tentang kubu yang kalah di linimasa media sosial mereka. Memang, kubu yang kalah mendominasi media sosial dan itu merupakan data. Namun, sampelnya tidak reliable mengingat media-media sosial selalu mendorong konten berdasarkan relevansi pada preferensi audiens. 

Artinya, mereka yang mendukung kubu A akan cenderung melakukan interaksi dengan konten yang mendukung kubu A, sehingga konten-konten tentang kubu A akan didorong lebih banyak ke hadapan mereka. Sebaliknya, karena interaksi terhadap kubu B tidak menarik bagi mereka, platform media sosial tidak mendorong banyak konten tentang kubu B ke hadapan simpatisan kubu A tersebut. 

BACA JUGA: Merek, Metaverse, dan Generasi Latah

Bagaimana otak kita menyingkirkan dan menyaring data juga bekerja seperti hal tersebut. Manusia adalah sosok yang harus hidup dengan berbagai macam bias psikologi dan sosial. Kita seringkali terjebak pada conformity bias atau tendensi untuk mempercayai dan menempatkan perhatian lebih pada hal-hal yang sesuai dengan apa yang sejalan dengan pemikiran kita. 

Sehingga, walaupun sesungguhnya banyak hal yang bertentangan dengan pemikiran kita, seringkali kita mengabaikannya. Kita lalu jatuh pada selective attention bias, memperhatikan dan lebih aware terhadap hal-hal yang menarik untuk kita, walaupun bisa saja apa yang tidak menarik dari kita sebenarnya muncul lebih banyak di hadapan kita. 

Saya pernah merasakan hal ini ketika beberapa waktu lalu saya tertarik membeli merek mobil Eropa. Sebegitu tertariknya saya pada mobil tersebut membuat mobil Eropa tersebut lebih banyak terlihat di jalan ketimbang opsi mobil Jepang yang disukai istri saya. Padahal, secara data penjualan, mobil Eropa tersebut jauh di bawah penjualan mobil Jepang. 

Tapi, tetap saja bagi saya, mobil Eropa tersebut lebih banyak berkeliaran di jalan. Fenomena cocktail party effect membuat kita begitu sigap menoleh ketika nama kita dipanggil dalam sebuah pesta pernikahan. Bahkan, ketika saat itu kita sedang sangat konsentrasi berbicara dengan sekelompok teman lama yang sudah lama tak berjumpa juga menggambarkan bagaimana heuristic bias ini menjadi kenyataan.

Dalam banyak momen kehidupan, berbagai macam informasi didorong ke hadapan kita. Sebagian kita tertarik, sebagian lagi tidak. Ketertarikan kita pada sesuatu yang menarik telah menutup mata kita terhadap hal-hal yang tidak kita sukai. Di saat itulah, data mengambil kesempatan untuk bisa memaparkan fakta yang seolah-olah bebas bias. 

Kita percaya dengan data karena memberi kita pegangan terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui pasti. Tidak jarang pula, data membukakan mata kita akan sesuatu yang selama ini kita abaikan karena berbagai macam bias psikologi kita.

Sayangnya, tidak sedikit orang yang sudah jatuh pada data festishism, yaitu kecenderungan untuk mendewakan data. Apa pun yang ditunjukkan data dianggap sesuatu yang valid. Bahkan, dalam berbagai kesempatan banyak pengambil keputusan tidak berani mengambil keputusan jika tidak ada data yang menyertainya. 

Berisi Masa Lalu

Lepas dari berbagai macam manfaat data, kita perlu menyadari bahwa data adalah tentang masa lalu, bukan masa depan. Facebook muncul ketika Friendster sudah cukup mendominasi, tapi tidak banyak data yang menunjukkan bagaimana Facebook bisa mengambil alih pangsa pasar Friendster yang secara fitur tidak jauh berbeda. 

Sebelum terjadi, tidak ada data yang mendukung kemungkinan TikTok akan booming. Karena TikTok adalah aplikasi pertama di kategori itu dengan fitur yang begitu spesifik. Walaupun sama-sama tentang video, YouTube memiliki karakter penggunaan yang berbeda. 

Sehingga, YouTube yang begitu mendominasi dan berbagai platform berbagai video lainnya tidak ada yang bisa menempel ketat YouTube, seolah-olah mengatakan bahwa TikTok juga akan sulit menempel YouTube. Tapi faktanya, TikTok tumbuh sangat cepat dan pesat. 

Kisah kesuksesan iPad juga menggambarkan bagaimana data tidak bisa memprediksi kesuksesan produk ini, semata-mata karena tidak ada data tentang iPad. Orang-orang tidak tahu iPad atau produk sejenis sebelumnya karena memang produk seperti itu belum pernah ada. 

Begitu juga dengan fenomena di pasar donut. Ketika pemain lama semacam Dunkin Donuts tampak mengalami pertumbuhan yang kurang agresif, seolah-olah data mengatakan bahwa pasar donat tidak begitu menggairahkan. Namun, kemunculan J.CO membantah hal tersebut. 

Pasar donat mendadak terlihat menarik dengan pertumbuhan gerai J.CO yang begitu eksponensial. Tapi, kita juga dibikin bingung ketika Krispy Crème, merek donat asal negeri Paman Sam terlihat kurang berhasil untuk ikutan berbagi panggung di kategori donat. 

BACA JUGA: Brand Numbness dan Janjinya kepada Konsumen

Fenomena tentang akurasi data ini pula yang membuat Nokia tumbang. Tricia Wang, seorang etnographer yang saat itu bekerja di Nokia sudah melakukan serangkaian interview dengan konsumen. Ia melihat bagaimana smartphone akan tumbuh dan booming di masa yang akan datang. Sayangnya, pemaparan temuannya tersebut tidak pernah mendapat sambutan positif dari managemen perusahaan. 

Pengambil keputusan di perusahaan memilih untuk menunjukkan data bagaimana pertumbuhan Nokia masih pesat dan tidak ada yang bisa menggulingkan mereka. Hasilnya, dalam waktu beberapa tahun saja, “ramalan” Tricia ini menjadi kenyataan, Nokia mulai kehilangan pangsa pasar, kehilangan kepemimpinan pasar, hingga akhirnya hilang hampir tak berbekas. Waktu itu, CEO Nokia berkata, “kita tidak melakukan apa pun yang salah, tapi kita kalah.”

Kasus Nokia menunjukkan bahwa walaupun dalam banyak situasi data akan sangat membantu, namun tidak jarang pula quantification bias ikut bermain, yaitu tendensi untuk hanya mempercayai sesuatu ketika ada datanya. Padahal, dalam berbagai situasi data tidak tersedia karena hal yang bisa mengancam bisnis kita adalah sesuatu yang belum pernah terjadi, sehingga tidak ada datanya. 

Data memang fakta, tapi data bisa menjadi tendensius ketika heuristic bias kita ikut ambil bagian. Heuristic bias ini juga seringkali membuat kita menghubung-hubungkan dua hal yang terjadi bersamaan, namun sebenarnya tidak berhubungan.

Misalnya, setiap pagi tukang sampah lewat depan rumah saya pukul lima pagi. Ia mengambil sampah dari tong sampah saya ke dalam gerobaknya, lalu mengeluarkan sebatang rokok kemudian menghisapnya sambil beristirahat sejenak. Tidak lama setelah itu matahari terbit. Peristiwa ini terjadi hampir setiap hari. Namun, kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa matahari terbit karena tukang sampah menyalakan rokok setelah mengangkut sampah saya.

Bingkai data

Data bisa jadi salah arti ketika dibingkai secara tidak tepat. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya bekerja di perusahaan property technology, salah seorang tim saya menunjukkan data kepada klien kami yang tertarik untuk melihat potensi market di daerah klender, Jakarta Timur.

Tim saya menunjukkan data di platform kami mengenai betapa minim atau hampir tidak adanya apartemen dalam radius 10 kilometer dari lokasi dan ia membingkainya sebagai peluang karena tidak ada pesaing di sekitar sana. Padahal, data yang sama juga bisa di-framing sebaliknya, sebagai tidak adanya peluang karena, toh, tidak ada pemain yang membangun apartemen di daerah situ.

Quantification bias memberi beban lebih pada data, sehingga kita menarik kesimpulan dari apa yang data tidak katakan. Di awal masa pandemi, kita begitu dibuat frustasi melihat banyak prediksi ilmuwan mengenai akhir pandemi yang berdasarkan data akan berakhir pada Agustus 2020. Sayangnya, hingga hari ini pandemi belum juga menunjukkan tanda-tanda berakhir. 

Apakah prediksi dari perhitungan ilmiah para ilmuwan itu tidak valid? Ya dan tidak. Perhitungannya valid, tapi perhitungan tersebut tidak memperhitungkan variabel yang begitu dinamis. Termasuk bagaimana tingkat disiplin masyarakat, mobilitas masyarakat yang tidak konsisten dan mutasi yang sulit untuk diprediksi.  

Data memang bisa mengungkapkan banyak hal, namun dengan framing yang salah, data bisa mislead. Fakta bahwa data bisa menghitung banyak hal tidak memberi kita hak untuk mengambil kesimpulan bahwa hal-hal yang tidak bisa diukur sebagai sesuatu yang tidak bisa terjadi. Ini terjadi karena pada dasarnya manusia adalah mahkluk yang dinamis, kita bisa berubah-ubah sehingga data statis tidak bisa menjelaskannya. 

Sebagai manusia kita juga seringkali tidak tahu apa yang kita lakukan, tidak mengatakan apa yang kita tahu. Lihatlah bagaimana lancarnya kita mengetik. Namun, ketika ditanya di mana posisi huruf-huruf tertentu dalam keyboard laptop kita, kita pun butuh waktu untuk menjawabnya. Padahal, ketika mengetik ini terjadi secara otomatis dalam hitungan sepersekian detik. 

Dalam banyak consumer research, responden juga tidak mengatakan apa yang sesungguhnya mereka pikirkan. Ketika ditanya mengapa mereka membeli sesuatu, tidak semudah itu mereka bisa mengartikulasikannya mengingat banyak keputusan pembelian kita yang memang terjadi bawah sadar. Selain itu, otak kita memang memiliki kecenderungan untuk merasionalisasi. Jadi, dengan berbagai hal besar yang bisa dilakukan data, kita perlu sadar bahwa data bisa tidak akurat karena salah kalkulasi, data juga bisa tendensius dengan framing tertentu. 

Data juga tidak selalu bisa memprediksi masa depan. Data juga bisa menjebak ketika variabel yang terlibat dinamis. Untuk itu, pula baiknya kita terbuka pada hal-hal yang tidak bisa dihitung karena tidak semua yang tidak bisa dikuantifikasi tidak akurat. 

Ingatlah bahwa walaupun mereka yang datang menganalisis masa lalu dengan data memiliki kehebatan tertentu. Tapi, mereka yang ada dan harus mengambil keputusan sebelum fakta-fakta terjadi juga sosok yang luar biasa hebat. Menyesali pilihan melewati sebuah jalan yang ternyata macet tidak berarti jalan lain lebih lancar. 

Menyimpulkan dan merangkai data dari peristiwa yang sudah terjadi jauh lebih mudah dibanding harus mengambil kesimpulan ketika fakta belum terjadi, belum ada data. Sayangnya, dalam berbagai situasi kita seringkali dihadapkan pada posisi yang mana datanya belum bisa diambil karena faktanya belum terjadi. Tapi, kita tetap harus berani mengambil kesimpulan dengan minimnya data.

Tricia Wang mendorong kita untuk menggabungkan big data dengan thick data yang merupakan insight-insight yang walaupun tidak besar, tapi kualitasnya tinggi. Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak konsisten, tidak rasional, dan sangat dinamis. Menganggap bahwa quantifiable data bisa menjawab segalanya, sama saja menyerahkan sepenuhnya hidup kita pada mesin. 

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related