Rahasia di Balik Pertumbuhan Fenomenal BRI

profile photo reporter Taufik
Taufik
14 Februari 2023
marketeers article
Bank BRI, sumber gambar: 123rf

Oleh Taufik, Deputy Chairman MarkPlus Corp dan Sekjen IMA

Di tengah-tengah ancaman inflasi yang melonjak tinggi, sejumlah kabar bagus muncul dari perusahaan publik Indonesia. The Fabulous Four of Indonesian Banking Sector secara bersama-sama membukukan pertumbuhan double digit untuk laba year-on-year pada semester 1-2022.

Tiga dari empat bank tersebut adalah bank BUMN dan semuanya mencatat pertumbuhan laba di atas 50%. BRI adalah salah satu bank yang bahkan mencatatkan pertumbuhan laba year-on-year hampir mendekati 100% pada periode tersebut.

Suatu hal yang sudah terbayangkan sebelumnya. Mengingat, BRI memiliki aset dan selama ini, kecuali tahun 2020 dan 2021, selalu menjadi pemecah rekor laba, bukan hanya di sektor perbankan, tapi juga untuk seluruh korporasi di Indonesia. 

Pada tahun 2021, banyak bank besar di tingkat dunia yang mencatatkan pertumbuhan laba double digit. Padahal, masa pandemi belum usai dan awalnya diperkirakan akan memorakporandakan kinerja bank. Alasannya, pada masa krisis, bank akan merugi akibat memberikan pinjaman kepada perusahaan yang kesulitan mengembalikan utang.

Di tingkat global, muncul analisis mengapa pada tahun 2021 kinerja bank besar bisa bagus sekali. Salah satu faktor adalah mereka mulai melepas cadangan yang semula dialokasikan untuk menghadapi krisis yang dipicu pandemi. Realitasnya, banyak yang justru kinerjanya makin bagus saat pandemi.  

Bagaimana dengan BRI? Bank ini sempat merasakan dampak pandemi. Labanya turun tajam pada tahun 2020.

Membuat BRI bukan hanya tidak bisa mempertahankan posisi nomor satu dalam pencapaian laba sektor perbankan yang telah dicapai selama lebih kurang 15 tahun secara berturut, tapi bahkan sampai turun ke posisi ketiga dalam pencapaian laba. Penyebab kinerja yang menurun ini karena mesti melakukan relaksasi kepada para nasabah yang meminjam uang ke BRI.

Memang, BRI bukan satu-satunya lembaga keuangan yang melakukan hal tersebut. Justru, semua pelaku industri jasa keuangan harus melakukan hal tersebut sebagai upaya membantu nasabah menghadapi krisis.  

Akan tetapi, BRI mesti melakukan relaksasi dalam situasi yang jauh lebih menantang dibandingkan bank-bank lain. Dengan jumlah nasabah yang begitu besar, sebagian besar merupakan pelaku usaha mikro dan kecil, tentu mesti menunjukan sensitivitas yang berbeda dibandingkan pelaku industri jasa keuangan lain.

Pelaku usaha mikro dan kecil yang secara umum bisa dikatakan tidak terdampak krisis ekonomi 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008, ternyata terdampak saat pandemi. Meski sebagian besar sudah memiliki smartphone dan merupakan pengguna internet, cara mereka dalam melakukan kegiatan usaha, khususnya menjual produk belum berbasis digital.

Dengan demikian, mereka kehilangan kesempatan mengikuti tren baru digitalisasi perdagangan. Akibatnya, tidak bisa menjual produk dan berakibat pada kemampuan membayar pinjaman. 

BRI paham dengan situasi ini. Itulah sebabnya ketika regulator mengumumkan perlunya pelaku usaha industri jasa keuangan melakukan relaksasi, BRI mengantisipasi dampak dari ketidakmampuan nasabah dari kalangan usaha mikro dan kecil beradaptasi dengan cepat lewat tuntutan transformasi digital.

Antisipasi yang dilakukan adalah secara internal mencadangkan dana terkait dengan ketidakmampuan nasabah mencicil pinjaman atau bahkan melunasi pinjaman. Tentu dalam situasi yang tidak pernah terbayangkan seperti pandemi, BRI mesti memperhitungkan potensi yang tidak punya ketidakmampuan tersebut jumlahnya besar sekali, baik dari jumlah nasabah maupun nilai transaksi pinjaman. 

Padahal, nasabah kecil dan mikro BRI adalah nasabah kecil dan mikro pilihan. Selama bertahun-tahun, angka non-performing loan dari kelompok nasabah tersebut kecil.

Akan tetapi, karena menghadapi situasi yang luar biasa, nasabah yang selama ini punya track record bagus pasti terdampak signifikan dalam kemampuan mencicil atau melunasi pinjaman. Dengan demikian, manajemen BRI akhirnya mesti melakukan pencadangan yang  jauh lebih besar dari yang selama ini dilakukan agar para nasabahnya punya waktu untuk membangun kemampuan melunasi pinjaman di masa pandemi yang tidak tahu kapan akan berakhir.

Tidak hanya dalam nilai dana yang dicadangkan, tapi BRI juga mengantisipasi periode waktu yang dibutuhkan hingga nasabah mikro dan kecil bisa punya kemampuan mencicil utang. Untuk melakukan pencadangan, BRI harus memastikan mempunyai dana.

Artinya, BRI harus mendapatkan laba dari nasabah-nasabah yang relatif tidak terkena dampak pandemi. Hal itu hanya terjadi kalau BRI punya layanan yang bagus yang membuat sebagian besar dari mereka tetap mau menggunakan layanan perbankan dari BRI. 

BRI sudah lama melakukan investasi besar-besaran di bidang teknologi informasi. BRI menjadi bank pertama dan sejauh ini satu-satunya yang mempunyai satelit.

Keberadaan satelit ini memungkinkan BRI melayani nasabah di negara kepulauan terbesar di dunia, termasuk di tengah-tengah lautan, melalui perbankan di atas kapal. Oleh sebab itu, di tengah-tengah tuntutan transformasi digital yang muncul seiring dengan adanya pandemi, BRI mesti bisa mendapatkan manfaat dari investasi besar-besaran di bidang teknologi informasi yang telah mereka lakukan selama ini.

Hal paling mendesak adalah mesti menunjukkan keandalan teknologi informasi di tengah lonjakan besar penggunaan layanan perbankan digital di seluruh wilayah Indonesa. Ini jelas tidak mudah.

Salah satu perusahaan startup yang sudah go public pernah mengalami hang ketika terjadi lonjakan transaksi yang besar untuk layanan pesan makanan secara online. Padahal, nasabahnya jauh lebih kecil dibandingkan nasabah BRI.

Selain itu perusahaan startup itu belum punya jangkauan pelayanan yang seluas BRI. Tentu yang namanya layanan perbankan digital bukan hanya bergantung pada keandalan sistem untuk menghadapi lalu lintas transaksi skala besar, tapi juga edukasi terhadap nasabah.

Kalau sebelum pandemi proses edukasi mesti dilakukan face-to-face, maka BRI bisa melakukan tanpa tatap muka di masa pandemi dengan intensitas tinggi sesuai jumlah nasabah yang besar. Inilah tantangan lain berikutnya yang mesti dihadapi BRI. 

Sekalipun merupakan salah satu perusahaan yang memiliki jumlah karyawan yang besar, melakukan edukasi ke puluhan juta nasabah jelas bukan perkara mudah. Apalagi, bukan hanya memastikan mereka aware pada BRI yang mempunyai layanan perbankan digital yang andal, tapi juga act alias mau menggunakan layanan perbankan digital dari BRI.

Ujungnya mesti bisa menjadi advocate. Kalau meniru pola, misalnya, yang pernah dilakukan salah satu bank besar dengan blocking time siaran TV, secara rutin dalam jangka waktu yang lama, jelas akan menghabiskan biaya yang besar.

Padahal, BRI meski melakukan efisiensi di banyak hal agar langkah pencadangan kerugian yang dilakukan tetap dalam batas yang bisa dikelola. Karena itu, edukasi mesti dilakukan secara masif dan murah serta cepat memberikan hasil dalam act atau advocacy

Momentum transformasi digital yang dilakukan di mana-mana oleh semua kalangan, termasuk di sekolah dan kegiatan beribadah jelas hal yang favorable dalam proses edukasi. Needs and wants dari sebagian nasabah mikro dan kecil terhadap layanan perbankan yang semula belum ada, mulai muncul.

Mereka butuh bantuan agar bisa melakukan transformasi digital. Ternyata banyak pihak yang peduli dalam proses membantu transformasi digital pelaku usaha mikro dan kecil di masa pandemi.

Di antaranya, melakukan webinar terkait usaha kecil dan menengah (UKM), termasuk yang dihadiri oleh Menteri Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, webinar edukasi keuangan yang dihadiri Komisioner OJK dan salah satu direksi BRI, dan perwakilan Indonesia Marketing Association (IMA). IMA didirikan Hermawan Kartajaya dan Juan Permata Adoe pada 20 Mei 1996 dan kini dipimpin oleh Suparno Djasmin atau biasa dipanggil Abong.

Melalui sejumlah chapter yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, IMA juga melakukan pembinaan langsung kepada pelaku usaha mikro dan kecil. Memang, jumlahnya kecil sekali dibandingkan jumlah nasabah mikro dan kecil BRI.

IMA hanyalah satu dari sekian banyak lembaga di luar pelaku industri jasa keuangan yang melakukan proses edukasi ke pelaku usaha mikro dan kecil. Mereka mau terlibat dalam proses edukasi tersebut karena melihat peran sentral pelaku usaha mikro dan kecil dalam proses pemulihan ekonomi setelah terkena pandemi.

Mereka percaya bahwa kemampuan pelaku usaha tersebut dalam melakukan transformasi digital akan berpengaruh signifikan dalam kecepatan pemulihan ekonomi. Tentu tidak boleh dilupakan adalah peran vaksinasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah bersama dengan berbagai komponen bangsa.

Dalam laporan keuangan semester 1-2022, BRI melihat timeframe vaksinasi sebagai salah satu timeframe penting yang menjadi acuan BRI dalam melangkan ke depan. Ditambah timeframe relaksasi dan timeframe keterlibatan luar biasa Bank Indonesia dalam proses percepatan pemulihan ekonomi setelah terkena pandemi Covid-19.

Orkestrasi langkah internal dan eksternal tersebut membantu BRI untuk tetap mendapatkan laba yang besar di tengah situasi yang susah. Memang, tidak bisa lagi menjadi nomor satu dalam laba selama dua tahun berturut-turut pandemi COVID-19, tapi masih termasuk tiga besar di tengah situasi susah.

Itulah sebabnya, seolah-olah seperti semesta mendukung. Setelah sebagian besar nasabah bisa membaik kondisinya, maka BRI bisa mencatatkan hal yang tidak terbayangangkan, yakni established company dengan ukuran raksasa yang  pertumbuhan laba year-on-year di semester pertama 2022 hampir 100%.

Related