Polemik pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi mitra platform digital terus menjadi perhatian. Pemerintah mempertimbangkan aturan baru yang mewajibkan perusahaan memberikan THR, namun kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di industri terkait.
Seiring meningkatnya jumlah pekerja ekonomi gig, serikat pekerja mendesak regulasi yang mewajibkan perusahaan platform digital memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif. Namun, hal ini dinilai dapat membebani perusahaan dan berdampak pada keberlanjutan industri dalam jangka panjang.
BACA JUGA: Mengulik Peran Genealogi dalam Pecahkan Cold Case di The Breakthrough
“Jika biaya tambahan seperti THR diwajibkan, perusahaan bisa menaikkan tarif layanan atau menghapus program kesejahteraan mitra yang selama ini telah diberikan,” kata Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, asosiasi yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran digital di Indonesia, dikutip Jumat (28/2/2025).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki 41,6 juta pekerja gig, termasuk 1,8 juta mitra layanan ride-hailing. Jika regulasi tidak seimbang, jutaan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini bisa terdampak secara ekonomi.
Pemerintah berupaya mencari jalan tengah dengan skema Bantuan Hari Raya (BHR) sebagai alternatif THR. Namun, pendekatan ini perlu mempertimbangkan fleksibilitas kerja, yang merupakan daya tarik utama bagi pekerja di sektor ekonomi gig.
Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, menilai kebijakan terkait THR mitra platform harus dikaji secara matang. Jika aturan yang diterapkan terlalu ketat, regulasi baru bisa menghambat pertumbuhan industri digital di Indonesia yang masih berkembang.
“Regulasi yang tepat harus menjaga keseimbangan antara kesejahteraan mitra dan keberlanjutan industri, tanpa mengurangi fleksibilitas yang menjadi daya tarik utama sektor ini,” ujarnya.
Salah satu kekhawatiran terbesar dari kebijakan ini adalah dampaknya terhadap ekosistem bisnis platform digital. Jika perusahaan dibebankan biaya tambahan, ada kemungkinan mereka menyesuaikan skema kemitraan atau mengurangi insentif yang selama ini diberikan kepada mitra.
Selain itu, peningkatan beban operasional bisa menyebabkan perusahaan menaikkan tarif layanan. Hal ini berpotensi menurunkan daya saing di pasar dan mengurangi permintaan layanan dari konsumen.
BACA JUGA: Sinopsis Friendly Rivalry, Drakor Thriller Baru Lee Hye Ri
Di beberapa negara, regulasi terkait ekonomi gig masih menjadi perdebatan. Beberapa regulasi memilih untuk memberikan perlindungan sosial bagi pekerja gig melalui skema jaminan sosial berbasis kontribusi, dibandingkan dengan mewajibkan pemberian THR.
Jika regulasi ini diterapkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan industri, ada risiko besar pekerja gig justru kehilangan sumber pendapatan. Sebab itu, pemerintah diharapkan mengambil langkah yang adil bagi semua pihak.
Editor: Bernadinus Adi Pramudita