Resep Sukses Gelombang Korea yang Mendunia

marketeers article
Salah satu sudut kota Seoul. Sumber ilustrasi: www.123rf.com

Hype gelombang Korea Selatan atau Hallyu masih kuat hingga sekarang. Demam Korea ini tidak hanya menghentak di panggung musik bersama para artis K-Pop, melainkan juga drama, film, gaya rambut, kosmetik, pariwisata, hingga makanan. Hallyu merupakan fenomena besar marketing di abad ini.

Kim Yong-Woon, Direktur Korean Cultural Center Indonesia (KCCI), kepada Marketeers mengatakan Gelombang Korea dimulai pada tahun 1990- an dan China menjadi negara pertama yang dipengaruhi oleh gelombang budaya tersebut. Hallyu sendiri berasal dari kosa kata China, Han Liu, yang terjemahan kasarnya sebagai Gelombang Korea. “Saat itu, grup musik pop yang populer adalah H.O.T dengan fanbase besar di sana. Gelombang ini kemudian merambah Taiwan dan Jepang,” katanya.

Hallyu tak lepas dari fase sejarah Korea Selatan sebelumnya. Pada tahun 1910-1945, wilayah semenanjung Korea dijajah oleh Jepang. Pada tahun 1950, Perang Korea pecah dan membuat kondisi ekonomi, politik, dan sosial Korea Selatan terpuruk. Sejak tahun 1960-an, Korea Selatan mulai bangkit dengan ditandai industrialisasi dan revolusi digital pada tahun 1980-1990. Kebangkitan ini tak hanya menyangkut ekonomi dan teknologi, juga kebangkitan identitas dan budaya Korea Selatan yang ditandai dengan Hallyu.

Mengutip laporan Jungsoo Kim berjudul Success without Design: Hallyu (Korean Wave) and Its Implications for Cultural Policy, (2016), setidaknya ada lima faktor kunci suksesnya Gelombang Korea. Pertama, daya saing internal di Korea yang membuat para seniman berkreasi menciptakan produk seni. Kedua, faktor eksternal berupa perubahan politik dan ekonomi di Asia Timur yang pada masanya membuat “kekosongan budaya” yang kemudian diisi dengan impor budaya Korea. Ketiga, peranan para pengusaha dalam memasarkan konten-konten Korea ke mancanegara.

“Korea Selatan serius menggunakan strategi pemasaran internasional. Saat itu sudah ada tiga agensi besar, seperti SM Entertainment, YG Entertainment, and JYP Entertainment,” kata Kim Yong-Woon.

Keempat, dukungan pemerintah Korea pada ekspor budaya. Yong-Woon mengatakan, pemerintah Korea Selatan mendukung K-Pop melalui kebijakan terkait ekspansi ke panggung internasional. Kelima, peran teknologi khususnya jejaring digital.

“Perkembangan eksponensial teknologi digital membantu budaya Korea Selatan mengglobal dalam waktu singkat. Ini juga didukung semangat menantang I can do it yang unik bagi orang Korea Selatan yang mempercepat penyebaran Hallyu di pasar global,” ujar Boojong Kim, Presiden Asia Marketing Federation dan Profesor dari Universitas Dong A, Korea Selatan kepada Marketeers.

Kekuatan Lokal dan Komunitas

Menurut Boojong Kim, belajar dari Hallyu, setidaknya merek perlu memperhatikan tiga hal khususnya dalam mendukung komunikasi pemasarannya di pasar global. Pertama, merek global harus memiliki identitas uniknya sendiri. Kedua, merek teratas harus mengelolanya dengan konsisten dalam jangka panjang. Ketiga, mereka harus berpikir global dan bertindak lokal atau think globally, act locally.

Boojong Kim menyadari sebenarnya elemen lokal bisa menjadi kekuatan untuk mengglobal. Ia mencontohkan film Korea Selatan berjudul Parasite yang sukses memboyong Piala Oscar 2020. “Parasite menjadi contoh bagus yang membuktikan bahwa the most Korean thing is the most global thing. Ini menunjukkan sutradara Bong Joon-ho memikat penonton dengan mengusung isu umum tentang kesenjangan kaya dan miskin atau ketimpangan pendapatan dengan cerita dan bahasa negeri asalnya,” kata Boojong.

Sementara, Eva Latifah selaku Dosen Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia, menambahkan kekuatan marketing gelombang Korea terletak pada kepiawaiannya dalam membentuk dan mengelola komunitas penggemar atau fanbase.  Selain itu, kemampuan adaptif orang dalam memperkenalkan budayanya cukup tinggi sehingga gampang diterima di pasar negara lain.

“Yang jelas, gelombang Korea Selatan ini bertahan sampai sekarang di Indonesia karena mereka mengelola industri kreatif dengan sangat kreatif,” pungkas Eva.

Related