Sejauh Mana Kecerdasan Buatan Akan Mengubah Perilaku Konsumen?

marketeers article
Ilustrasi kecerdasan buatan. (FOTO: dentsu)

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang dulu hanya sebatas karakter dalam kisah fiksi, kini sudah makin marak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang memprediksi bahwa penggunaan kecerdasan buatan akan semakin marak.

Bila benar demikian, sejauh mana konsumen akan mempengaruhi teknologi? Dan sejauh mana teknologi akan mengubah konsumen? Laporan dentsu yang berjudul Consumer Vision 2035: The Era of the Insight to Foresight Pivot mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Sejauh mana konsumen mempengaruhi teknologi?

Dalam laporan tersebut, pada tahun 2030 nanti, teknologi kecerdasan buatan akan semakin meresap dalam hidup konsumen. Studi dentsu menyebut, 70% responden yang disurvei secara global saat ini meyakini bahwa AI akan digunakan untuk banyak aspek dalam kehidupan selama 10 tahun ke depan.

Menuju tahun 2035 dari tahun 2030, konsumen akan semakin nyaman menyerahkan berbagai aspek kehidupan mereka kepada teknologi, khususnya asisten AI. Saat ini saja, dalam survei global, 49% responden menyatakan bahwa mereka ingin memiliki ‘klon AI’ yang dapat menangani belanja, administrasi, dan komunikasi pada tahun 2035 .

Nantinya, ketika konsumen mulai menyerahkan banyak hal kepada AI, merek tak bisa lagi berinteraksi secara langsung dengan konsumen. AI milik konsumen yang akan menjadi jembatan untuk merek berinteraksi dengan konsumen.

Di fase ini, karakter dari konsumen sudah mampu diterjemahkan menjadi algoritma untuk kecerdasan buatan. AI konsumen akan memiliki algoritma bagaimana perilaku penggunanya dalam berbelanja mulai dari kapan, apa saja yang dibeli, berapa banyak, hingga kapan terjadinya impuls buying.

BACA JUGA: dentsu Indonesia Tunjuk Anwesh Bose sebagai Chief Growth Officer

Merek juga pastinya menggunakan kecerdasan buatan dalam berbisnis pada era ini. Interaksi antara AI milik konsumen dengan AI milik merek, menimbulkan hubungan baru yang dinamai M2M (machine-to-machine) alias hubungan antarmesin.

Mesin AI milik konsumen akan menjadi penjaga gerbang yang mengawasi apakah penawaran dari kecerdasan buatan milik merek sesuai dengan preferensi konsumen. Adu algoritma antar keduanya akan menciptakan data baru yang bisa digunakan baik untuk konsumen maupun merek.

Bagaimana AI merubah konsumen?

Pada tahun 2030 nanti, kehadiran AI yang semakin massif mempermudah konsumen dalam banyak hal. Sayangnya, keberadaan kecerdasan buatan yang hampir ada di setiap lini membuat manusia merasa bak ulat yang diselimuti kepompong.

Rasa ketergantungan dengan AI membuat manusia mempertanyakan kembali tujuan hidup, identitasnya, dan bagaimana relasinya dengan manusia yang lain. Dalam fase penuh pertanyaan ini, konsumen mulai resah, terisolasi, kesepian.

Keresahan tersebut akhirnya mendorong konsumen pada kebiasaan yang cukup eksentrik. Konsumen di masa depan akan semakin mengandalkan mood mereka saat berinteraksi dengan merek. Dalam survei global, 70% responden menyatakan bahwa keputusan pembelian mereka sangat dipengaruhi oleh suasana hati pada saat itu.

Kalau konsumen semakin moody, merek harus bagaimana?

Semakin moody konsumen, maka merek juga dituntut lebih cepat beradaptasi. Apalagi, nantinya interaksi yang terjadi adalah antara mesin AI milik merek dan mesin AI milik konsumen.

Artinya, mesin kecerdasan buatan milik merek harus memiliki kemampuan prediktif. Analisis prediktif ini diperoleh dari interaksi antara mesin AI konsumen dengan merek.

BACA JUGA: HK: Tren Sustainability Berpeluang Besar Timbulkan Pergeseran Budaya

Mesin AI milik merek akan menganalisis apa saja yang ditolak, diterima, kemudian membuat prediktif bagaimana merek harus membuat penawaran yang akan diterima mesin AI konsumen.

Kedepan, merek tidak lagi dituntut reaktif. Dari hasil analisis data AI, merek harus mampu memprediksi kebutuhan konsumen. Mesin milik merek harus punya algoritma yang mampu ‘menjebol gawang’ AI milik konsumen.

Tak perlu menunggu nanti pada tahun 2030. Sekarang saja, menurut 77% responden global dalam studi ini, mereka menginginkan merek yang bisa memprediksi apa mau mereka.

Karenanya, merek harus mampu mendekatkan diri dengan konsumen melalui kampanye atau event yang orisinil, personal, interaktif, dan intuitif. Laporan itu menyebut, saat ini 80% responden yang disurvei mengaku bahwa merek akan lebih mencolok, ketika merek mampu mengejutkan dan menyenangkan mereka dengan cara yang tak terduga.

Editor: Eric Iskandarsjah

Related

award
SPSAwArDS