Simak Cerita Para Perusahaan Ini Bangkit dari Kegagalan

marketeers article
cycle to reach success: try, fail, try again, success

Kegagalan dalam bisnis adalah hal yang biasa. Saat menjalankan sebuah bisnis, tidak bisa selalu mengharapkan bisnis tersebut berjalan dengan baik. Adakalanya bisnis akan menghadapi tantangan. Dalam hal ini, yang dilihat adalah proses menghadapi tantangan tersebut untuk bisa bertahan, bahkan berkembang.

Beberapa waktu lalu, Marketing Enthusiast Community mengadakan diskusi virtual bertemakan Share Your Biggest Failure. Diskusi ini membahas mengenai kegagalan yang pernah dialami oleh industri-industri tanah air dan bagaimana cara mereka menghadapinya.

Winanda Setiawan, Marketing Manager The Kraft Heinz Company menceritakan kegagalannya saat menaungi Marketing & Product Development (MPD). Berkaca dari kegagalan tersebut, ia sadar tidak semua permasalahan mengenai produk dapat diatasi oleh MPD.

“Di perusahaan saya yang sebelumnya, saya belajar bahwa tidak semua produk bisa di tackle MPD. Kita harus tau permasalahannya apa, dan apa yang bisa diatasi MPD. Bisa jadi ada hal lain yang seharusnya dilakukan,” tutur Winanda.

Tak hanya MPD saja, Winanda pun pernah mengalami kegagalan saat berurusan dengan e-commerce tahun 2017 lalu. Saat itu, timnya tidak ada yang memahami mengenai dunia e-commerce, namun produk mereka tetap dipasarkan disitu. Alhasil, tidak ada yang membeli produk tersebut.

“Dulu kami pikir karena e-commerce ini digital, sophisticated jadi, kita pakai model bisnis yang ada saja. Setelah itu, kita jual barangnya dan bahkan menaruh harga lebih tinggi dibandingkan yang kita jual secara fisik. Ternyata tidak ada yang membeli sama sekali,” kata Winanda.

Winanda belajar dari kegagalan tersebut dan melakukan beberapa hal. Pertama, business model harus memiliki orang yang berhubungan dengan e-commerce tersebut. Kedua, bagaimana caranya agar pelanggan mengetahui bahwa toko tersebut ada di e-commerce.

Ketiga, pricing strategy harus tetap kompetitif. Hanya adakan diskon saat traffic nya besar. Terakhir, fokus ke pemasaran digital.

“Kalau ingin serius dengan e-commerce, kita harus mengubah model bisnis kita. Jika kita ingin mendatangkan traffic, membangun awareness, tidak bisa memakai cara yang konvensional. E-commerce sangat berbeda dengan berjualan secara fisik,” tutup Winanda.

Selanjutnya, Marselus Albert, Brand Dept. Head FKS Group memaparkan bahwa promo adalah strategi jangka pendek yang bisa dilakukan sebuah bisnis. Menurutnya, harga promo tidak bisa terus dilakukan. Sebab, yang di berikan hanya harga, tidak ada investment value tertentu ke brand tersebut.

Marselus kemudian menyarankan bahwa saat ingin menggunakan strategi promo, pastikan apakah promo tersebut perlu dilakukan atau tidak. Pikirkan apakah momen tersebut adalah momen yang tepat untuk melakukan promo atau tidak.

“Penting untuk memikirkan momen dimana kita harus melakukan promo atau tidak. Secara frekuensi juga. Tidak bisa dilakukan terus-menerus. Intinya, jangan banyak bermain disitu. Harus liat situasi, kondisi, dan objeknya,” tegas Marselus.

Pengalaman lainnya diceritakan oleh Riantika FS, Brand Manager Kanmo Group. Sebagai perusahaan distribusi ritel yang memiliki ratusan gerai di hampir seluruh wilayah di Indonesia, tentunya merupakan tantangan bagi Kanmo saat pandemi COVID-19 melanda.

Riantika mengatakan bahwa dari sebelum pandemi, salah satu brand milik Kanmo Group telah memiliki website. Namun, tidak digunakan sama sekali, tidak dioptimalkan dan hanya mengikuti tren saja.

“Kesalahannya adalah salah satu brand kami yang juga menaungi 20 brand dibawahnya memiliki website yang tidak di optimize. Jadi saat pandemi, kita belum siap. Padahal, jika website tersebut kita optimalkan, kita tidak akan mengalami minus yang mencapai -70% itu,” papar Riantika.

Kanmo Group belajar untuk memaksimalkan website dan database. Tak hanya itu, customer behaviour masing-masing brand pun diklasifikasikan kembali hingga strategi lainnya seperti menghidupkan e-commerce, mengadakan talkshow, menyalurkan brand ke berbagai toko  dilakukan untuk bisa bangkit kembali.

“Kita belajar banyak dari kegagalan ini. Kita optimalkan semua hal yang bisa kita lakukan agar bisa naik kembali. Alhasil, untuk babyshop akhirnya bisa growth 48%. Menurut saya, itu pencapaian yang apik untuk kami semua. Kedepannya, kita akan terus berpikir apa yang bisa kita kerjakan untuk boost penjualan,” jelas Riantika.

Selanjutnya, Iqbal Sandira, Head of Digital Kalbe E-Health membicarakan pengalamannya saat melakukan kampanye digital untuk produknya melalui ad network. Kesalahannya, disini perusahaan telah mengeluarkan budget yang besar, namun hanya fokus pada satu channel saja serta belum menyadari dalam ad network, tidak lepas dari penipuan.

“Kami menyadari bahwa penggunaan ads hanya langkah awal saja dan masih jauh dari hasil yang kami inginkan. Kami juga baru menyadari ad fraud setelah mengeluarkan banyak budget,” sahut Iqbal.

Menyadari kesalahan tersebut, perusahaan pun mengupayakan berbagai hal. Pertama, menggunakan fraud filter. Kedua, fokus di beberapa chanel, tidak hanya satu saja. Setelah itu, liat chanel yang paling works dan optimalkan disitu. Terakhir, menggunakan tools yang tepat dan pemantauan secara teratur.

“Kami akhirnya berupaya untuk menjalankan digital campaign yang tepat. Kami mulai menggunakan tools yang tepat, memulai campaign awareness, pemantauan secara berkala, dan mengeluarkan budget yang sesuai,” tutup Iqbal.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related