Smartphone, Tempat Simpan Uang Masa Depan

marketeers article

Teknologi meringkas sektor finansial, terutama kemudahan bertransaksi bagi konsumen. Terkini, orang bahkan tidak perlu bawa kartu ATM, kartu kredit, apalagi uang tunai. Cukup membawa smartphone. Uang sudah ada di dalamnya, mau bayar tinggal klik atau pindai. Nominal kini bukan lagi gemerincing emas dan perak atau kertas gepokan, tapi hanya angka di layar. Itulah sektor finansial masa depan.

Terasa hambar rasanya berbelanja online, tapi pembayaran dilakukan secara cash on delivery. Sistem bayar lewat transfer ATM pun rasanya usang. Akan lebih praktis jika kita bisa langsung membayar langsung di laman online tersebut, klik, pilih metode pembayaran, lalu tunggu barang dikirim. Berbagai e-commerce kini sudah mengadopsi teknologi tersebut.

Lalu, siapa sebenarnya yang menyediakan platform atau program pembayaran online tersebut? Adalah startup teknologi bernama Veritrans, salah satu pionir penyedia layanan tersebut di Indonesia. Istilah lainnya, Veritrans menyediakan fasilitas payment gateway bagi para e-commerce di Indonesia.

“Teknologi kami memungkinkan konsumen membayar langsung secara online saat itu juga dengan banyak metode pembayaran, dari kartu kredit sampai fasilitas KlikPay. Kami juga menghubungkan konsumen dengan merchant e-commerce lewat pemberian informasi kepada merchant jika pembayaran sudah dilakukan, mereka bisa mengirim barang kepada konsumen,” ujar Vice President of Operations Veritrans Budi Gandasoebrata.

Hadir sejak tahun 2012, Veritrans muncul di tengah mulai meledaknya e-commerce yang butuh sistem pembayaran alias payment gateway. Veritrans kemudian mengakomodasi keperluan para e-commerce tersebut, menghubungkan mereka dengan konsumen. Dari mana pembayaran tersebut? Tentu saja dari bank. Maka tidak heran jika berkolaborasi dengan bank menjadi agenda utama ketika pertama mereka muncul.

“Ketika itu, kami langsung membuka pembicaraan dengan salah satu bank yang langsung mau bekerja sama. Hal itu membuka pintu untuk menambah daftar bank lain ke dalam portofolio Veritrans. Sekarang, bank-bank besar sudah tersedia metode pembayarannya dalam sistem kami,” jelas Budi tanpa mau menyebut nama bank tersebut.

Setelah itu Veritrans menawarkan layanannya ke para pemain e-commerce yang juga baru mengembangkan sayap bisnisnya. Budi mengatakan bahwa Veritrans memposisikan diri sebagai penyedia layanan payment gateway khusus startup, walau tidak menutup diri untuk berkolaborasi dengan perusahaan besar. Traveloka dan Tokopedia adalah contoh startup yang sudah sedari dulu menggunakan sistem Veritrans dan saat ini sudah menjadi besar.

Untuk memuluskan langkah perusahaan teknologi, mereka menjual nama Veritrans. Tidak heran karena brand Veritrans sendiri diambil dari nama perusahaan Jepang yang ikut membidani kelahiran Veritrans di Indonesia. Bisnis mereka serupa seperti halnya di Indonesia.

“Tapi bukan cabang. Kami hanya diberi nama sama untuk meyakinkan bahwa Veritrans Indonesa terafiliasi dengan perusahaan Jepang tersebut, karena mereka sudah punya nama di sana,” terang pria lulusan Belanda tersebut.

Hingga saat ini, sudah ada sekitar 1.100 e-commerce yang menggunakan sistem Veritrans. Selain Veritrans dari Jepang, salah satu investor adalah grup Midplaza, yang menjadi pemilik saham terbesar. Namun, Budi enggan membeberkan berapa nominal investasi itu. Tapi, ia menyatakan bahwa investasi itu untuk membangun infrastruktur teknologi dan jaringan ketika pertama kali berdiri.
Bagi perusahaan atau tech startup yang berminat, Veritrans tidak mengenakan biaya alias gratis untuk memasang sistem payment gateway di laman pembayaran mereka. Namun, Veritrans mendapatkan pemasukan dari setiap transaksi yang terjadi. Misalnya, untuk transaksi kartu kredit, Veritrans mengambil komisi 3% dari nilai transaksi plus sekitar Rp 2.500. Terkadang pemotongan itu sudah meliputi biaya untuk bank.

Langsung Ke Konsumen

Beda cerita dengan tech startup finansial lainnya, Xendit. Jika Veritrans menyediakan layanan untuk konsumen korporat, startup yang didirikan oleh Moses Lo ini menyasar konsumen perorangan. Xendit sendiri adalah aplikasi layanan penyimpanan uang digital dalam smartphone, dilengkapi fitur untuk transfer. Transaksi transfer uang itu pun cukup mudah, dengan hanya cukup menggunakan nomor telepon, uang pun terkirim tanpa perlu tahu nomor rekening.

“Kami ingin memberi kemudahan kepada publik bahwa transfer uang itu sangat mudah. Cukup klik di smartphone. Karena transfer uang sampai saat ini kadang masih cukup sulit. Kami ada juga fitur untuk split bill,” kata Moses. Sebagai contoh, ketika kita makan berempat di restoran dengan tagihan Rp 100.000, biasanya satu orang akan membayar terlebih dahulu dan rekan lainnya akan patungan setelahnya.

“Kalau konvensional, kan sulit, kadang ada uang pas, kalau tidak harus ada kembalian. Pecahan untuk kembalian juga kadang tidak ada. Dengan Xendit, yang patungan ini tinggal bayar dari dompet digital mereka. Angkanya pun pasti,” jelas Moses.

Sebenarnya Moses berkewarganegaraan Australia dan besar di Malaysia dan Amerika Serikat. Namun, ia melihat pasar Indonesia sangat potensial, mulai dari semakin masifnya pengguna smartphone sampai adopsi cepat terhadap teknologi. Populasi anak muda pun menjanjikan. Maka tidak heran Indonesia jadi target pasar Xendit dengan rentang usia dari 17-an sampai usia 30-an. Secara pribadi pun Moses memiliki darah Indonesia dari sang ibu.
Didirikan pada Juli 2015 lalu, tidak banyak sebenarnya yang dilakukan oleh Xendit untuk meraup banyak pengguna. Moses benar-benar mengandalkan word of mouth dari satu rekan ke rekan lainnya. Sesekali ada kegiatan offline seperti workshop di universitas. Tapi, belum genap satu tahun, Xendit sudah diunduh sebanyak 150.000 kali.

“Kami didanai beberapa investor, mulai dari Amerika Serikat, Jepang, sampai lokal pun ada. Di Indonesia, beberapa investor mulai dari East Ventures sampai Sovereign’s Capital,” sambung pria berusia 27 tahun tersebut.

Sementara itu, Dimo Pay memiliki layanan serupa Xendit, yaitu langsung ke konsumen perorangan. Startup yang didirikan pada 2013 tersebut memiliki produk andalan bernama Pay by QR. “Datang ke merchant, tidak usah membawa uang, cukup scan QR code dalam struk menggunakan smartphone, lalu saldo konsumen terpotong otomatis sesuai pembelanjaan. Simpel dan one click away,” ujar CEO Dimo Pay Brata Rafly.

Inovasi mereka juga diharapkan meminimalisir pemakaian uang kertas sehingga masyarakat menjadi cashless society. Sebagai perusahaan penyedia jasa pembayaran digital, Dimo Pay berkolaborasi dengan aplikasi dompet virtual, seperti Dompetku dan Uangku, layanan yang sebenarnya mirip dengan Xendit.

Jadi, pemilik kedua aplikasi itu bisa membayar menggunakan sistem Pay by QR di merchant-merchant tertentu. Tidak hanya offline seperti restoran, tapi online merchant pun bisa menggunakan sistem ini asal memang sudah terintegrasi.

Menurut Brata, kerja sama dengan dua dompet virtual itu menguntungkan karena Dompetku sudah memiliki basis pengguna 65 juta milik Indosat Ooredoo. Smentara, Uangku sudah terkoneksi dengan 15 juta konsumen Bank Sinarmas. Selain itu, sistem ini inklusif karena secara teknologi bisa digunakan oleh smartphone jenis apapun tanpa harus memiliki fitur Near Field Communication (NFC).

Selain terus menerus memperbaiki sistem, Dimo Pay juga gencar meningkatkan awareness dengan cara mengedukasi pasar. Menurut Brata, teknologi ini memudahkan konsumen. Bagi merchant pun benefitnya banyak selain biaya set up mudah dan murah.

Instalasi hanya dua sampai tiga hari dan mesin-mesin EDC perbankan bisa dipergunakan tanpa harus beli alat baru. Eksistensi mereka terus dibangun dengan menambah banyak merchant offline dan online untuk memakai teknologi ini. Bagaimana dengan skema bisnis diterapkan? Dimo Pay mengambil untung lewat share dari harga penjualan.

“Kami mengambil hanya sekitar 1% sampai 1,5% saja dari total yang dibayarkan konsumen. Revenue sharing itu tergolong murah. Kami bisa yakinkan bahwa kami terus mengembangkan teknologi, sehingga menjadi diferensiasi dengan perusahaan teknologi sejenis,” terang Brata lagi. Dimo Pay saat ini didanai oleh Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) plus beberapa investor global yang namanya tidak mau disebut.

Jika Veritrans dan Dimo Pay sudah bisa menghasilkan pendapatan lewat skema bisnis masing-masing, Xendit masih belum mau memikirkan hal itu. Moses dalam waktu dekat belum berencana mengambil untung dari layanan aplikasi gratis tersebut. Bahkan, target berapa jumlah download pun tidak membebani pikirannya. Fokusnya saat ini dan di masa mendatang adalah terus menyempurkan layanan aplikasi, dan konsumen pengguna Xendit terus loyal menggunakannya.

“Yang penting kualitas, bukan kuantitas,” tutup Moses.

Editor: Sigit Kurniawan

Related