Strategi Food Station Keluar dari Keterpurukan Selama Pandemi

marketeers article
Customer using a digital tablet at supermarket with sales clerk on background.

Dampak pandemi tidak hanya dialami oleh pelaku bisnis swasta. Tapi juga dialami oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Disampaikan oleh Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi, sebagai BUMD yang bergerak di bidang pemenuhan pangan warga Jakarta perusahaan justru mengalami tantangan berat selama pandemi.

“Sebagai BUMD, Food Station harus memastikan kebutuhan pangan murah di Jakarta tersedia dan distribusi merata. Sementara itu masih harus berperan sebagai lembaga bisnis yang harus mendapatkan profit,” katanya di acara Industry Roundtable Actualizing The Post Normal: Year 2021 & Beyond, Jumat (16/10/2020).

Selama pandemi, Food Station mengalami penurunan penjualan hingga 35,9% dengan total expenses naik 24%. Arief mengatakan kondisi ini sangat menantang. Apalagi dengan perintah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahwa Food Station harus bisa memenuhi kebutuhan 20% pemegang KJP+. Artinya, selama pandemi, Food Station harus memastikan bahwa pangan murah subsidi tetap tersedia.

Untuk mempertahankan bisnisnya, akhirnya Food Station melakukan berbagai langkah. “Bagaimana pun juga, BUMD harus beradaptasi agar bisa terus menjalankan fungsinya sebagai public service dan bisnis. Jadi, harus ada strategi yang dilakukan untuk survive,” tegas Arief.

Ada empat langkah yang dilakukan oleh Food Station untuk survive. Pertama, BUMD ini memaksimalkan kontribusi private brand. Food Station melihat kebutuhan konsumen yang bisa dimanfaatkan sebagai peluang. Setelahnya, BUMD ini berkolaborasi dengan private brand untuk memasarkan. Hasilnya, strategi ini berhasil berkontribusi hingga 60,42%.

Kedua, Food Station melakukan pengembangan produk baru. Meneruskan riset mengenai kebutuhan konsumen di DKI Jakarta, Food Station memproduksi delapan produk pangan baru dalam empat bulan.

“Menghadapi kondisi yang berubah, maka perlu ada adaptasi yang dilakukan. Di masa pandemi, Food Station melihat besarnya peluang penjualan di e-commerce karena beralihnya perilaku belanja masyarakat. Akhirnya, kami berkolaborasi dengan berbagai platform dan berhasil meningkatkan penjualan hingga 511% sejak pandemi melanda,” ungkap Arief.

Strategi terakhir yang dilakukan Food Station untuk menaklukkan pandemi adalah dengan meningkatkan brand awareness. Menurut Arief, sekarang adalah masa yang tepat untuk melakukan berbagai aktivasi, terutama dalam kanal daring.

Menuju Post Normal

Kondisi pandemi yang berubah menyebabkan perubahan pula untuk perjalanan bisnis ke depan. Arief memaparkan bahwa perubahan yang terjadi selama pandemi tidak hanya akan berpengaruh pada periode pandemi saja, tapi akan berlanjut dan mendorong perubahan-perubahan lain.

“Dengan kondisi yang terus berubah, kunci keberhasilan usaha adalah bagaimana perusahaan bisa memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi,” katanya.

Untuk beradaptasi, Arief menyarankan para pengusaha, terutama ritel pangan untuk melihat ke mana tren bergerak. Sekarang, tren digital memang semakin kuat, namun, pasti ada tren-tren lain yang mengikuti.

Contohnya adalah tren mengenai makanan sehat. Pandemi berhasil mendorong masyarakat untuk memiliki persepsi bahwa makanan yang dikonsumsi harus memberikan dampak baik bagi kesehatan tubuh. “Misalnya makanan organik. Kita memang sedang bergerak ke arah sana. Namun, tren ini bisa terus berkembang dan pengusaha harus jeli melihat peluang dari perkembangan tren,” tambahnya.

Lebih lanjut, Food Station juga telah memprediksikan bahwa DKI Jakarta akan kekurangan 1,2 ton pangan per tahunnya. Hal ini tentu sangat buruk mengingat daerah ini hampir tidak memiliki sumber daya pangan sendiri.

“Kuncinya adalah kolaborasi. Food Station mulai menjalin kerja sama dengan daerah-daerah yang bisa men-supply bahan makanan ke Jakarta untuk menjamin ketersediaan pangan sekaligus menjaga keseimbangan harga,” tutup Arief.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related