Warren Buffett bukan hanya dikenal sebagai investor legendaris, tetapi juga komunikator ulung. Hal ini kembali ia tunjukkan dalam pertemuan tahunan Berkshire Hathaway yang belum lama ini digelar di Omaha, Amerika Serikat (AS).
Dalam kesempatan tersebut, ada sekitar 20.000 pemegang saham berkumpul untuk menyaksikan presentasi yang menjadi terakhir kalinya Buffett tampil sebagai CEO. Mengingat, ia sudah berusia 95 tahun dan mengumumkan pengunduran dirinya di akhir tahun ini.
Meskipun topik yang dibahas seputar investasi dan ekonomi terbilang kompleks, Buffett punya kemampuan luar biasa untuk membuatnya terasa sederhana dan melekat di ingatan. Kuncinya terletak pada strategi public speaking yang ia gunakan, yaitu domain mapping.
BACA JUGA: Tren Remote Work dan AI Bikin Keterampilan Ini Banyak Dicari pada 2025
Menggunakan Metafora yang Dekat dengan Audiens
Salah satu kekuatan Buffett saat berbicara di depan publik ialah kemampuannya memanfaatkan metafora konkret dari dunia yang akrab bagi audiensnya. Contohnya, saat ditanya soal rencana investasi dari US$ 300 miliar kas yang dimiliki Berkshire, ia menjawab dengan metafora “fat pitch”, istilah dari dunia baseball.
Buffett menjelaskan bahwa investasi layaknya bermain baseball, yang berarti tidak semua bola harus dipukul. Ia memilih untuk menunggu “fat pitch”, bola yang mudah dipukul dan berpotensi menghasilkan hasil maksimal.
Inilah yang disebut domain mapping, yaitu menjelaskan ide abstrak dengan membandingkannya pada sesuatu yang konkret dan mudah dikenali. Metafora semacam itu menggambarkan filosofi investasinya yang mencakup sabar, pilih kesempatan yang tepat, dan baru bertindak.
Dalam kasus Buffett, dunia olahraga seperti baseball menjadi jembatan yang menghubungkan konsep kompleks seperti valuasi saham atau manajemen risiko dengan pemahaman sehari-hari.
BACA JUGA: Agar Tak Tergantikan AI, Desainer Harus Kuasai 5 Soft Skills Ini
Langkah-langkah Domain Mapping ala Buffett
Untuk menerapkan strategi domain mapping seperti yang dilakukan Buffett, pertama-tama Anda perlu mengidentifikasi topik abstrak yang ingin disampaikan. Setelah itu, carilah dunia konkret yang akrab bagi audiens, seperti olahraga, memasak, atau kegiatan sehari-hari lainnya.
Dari situ, tarik analogi yang relevan antara kedua dunia tersebut agar pesan yang ingin disampaikan terasa lebih membumi dan mudah dipahami. Namun, penting untuk menyesuaikan analogi dengan konteks budaya atau latar belakang audiens agar tidak menimbulkan kebingungan.
Misalnya, jika audiens tidak familiar dengan baseball, maka analogi bisa diganti dengan sesuatu yang lebih umum seperti sepak bola atau aktivitas lokal lainnya. Metafora baseball mungkin efektif di Amerika, tapi di tempat lain seperti Indonesia, bisa diganti dengan analogi dari sepak bola.
Editor: Bernadinus Adi Pramudita