Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampak ke Masyarakat dan Pelaku Usaha?

marketeers article
Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampak ke Masyarakat dan Pelaku Usaha? (FOTO: 123rf)

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya setelah 45 bulan atau sejak November 2018. BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dinaikkan sebanyak 25 bps menjadi 3,75% dari sebelumnya 3,5%.

Keputusan untuk menaikkan suku bunga tersebut sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BB) nonsubsidi serta inflasi volatile food

Hal itu sekaligus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang makin kuat.

Ekonom dari Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan kenaikan suku bunga oleh bank sentral akan berlanjut seiring kondisi inflasi di dalam negeri. Dalam proyeksi BI, inflasi Indonesia akan berada di 5% hingga akhir tahun, naik sekitar 1% dari target sebelumnya 4%. 

“Ini (diprediksi) bukan yang pertama, perkiraannya (suku bunga) naik 100 bps atau 1 persen sampai akhir tahun,” kata Bhima kepada Marketeers, Jumat (26/8/2022).

Hal itu menandakan kenaikan harga-harga barang akan dihadapi dan sebagai solusi jangka pendek suku bunga acuan dinaikkan. Namun, kebijakan menaikkan suku bunga akan menimbulkan dampak tersendiri bagi masyarakat hingga pelaku usaha.

Dampak Kenaikan Suku Bunga

Bhima menilai kenaikan suku bunga akan menimbulkan beban bagi masyarakat dan pelaku usaha, khususnya yang memiliki pinjaman di bank. Kenaikan suku bunga acuan akan ditransmisikan oleh perbankan untuk menaikkan suku bunga kredit.

Alhasil, biaya pinjaman atau cost of fund bertambah yang membuat masyarakat makin terbebani dengan adanya kredit pemilikan rumah (KPR) ataupun kredit kendaraan bermotor. Dari sisi pelaku usaha, bunga kredit modal kerja turut memelesat lantaran perbankan menerapkan floating rate berdasarkan suku bunga acuan bank sentral.

“Bahkan kenaikan bunga pinjamannya bisa lebih dari 1%, kenaikannya bisa 2% sampai 2,5%. Jadi hampir semua sektor, baik ritel, sektor industri itu akan terpengaruh dari penyesuaian tingkat suku bunga yang dilakukan sekarang,” ujarnya.

Bhima memastikan tanpa adanya tindakan preventif dan intervensi pemerintah, dampak kenaikan suku bunga bisa memperburuk kondisi dunia usaha. Pasalnya, dunia usaha belum sepenuhnya pulih akibat pandemi COVID-19 yang menerjang dalam dua tahun terakhir.

Sektor-sektor usaha seperti transportasi, perhotelan, pariwisata hingga akomodasi belum mencatatkan keuntungan akibat kerugian yang diderita saat pandemi. Oleh karena itu, dibutuhkan insentif-insentif khusus yang bisa membantu dunia usaha untuk tetap berkelanjutan menjalankan bisnisnya.

“Jadi apa yang bisa dilakukan? Yang bisa dilakukan tentu melanjutkan insentif-insentif yang lebih tepat sasaran untuk meringankan beban dari pelaku usaha,” ucapnya.

Insentif Pajak hingga Restrukturisasi Kredit

Bhima menyarankan pemerintah menanggung beban pajak pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UKM), hingga memberikan modal kerja melalui kredit usaha rakyat (KUR). Di tengah ketidakpastian kondisi saat ini, pemerintah juga dituntut untuk memperluas skema pembiayaan KUR.

“Perluasan skema KUR, plafonnya mungkin dinaikkan. Kemudian sektornya bisa diperbanyak, yang bisa menerima KUR. Nah itu cara untuk meringankan beban dari pelaku usaha,” tuturnya.

Untuk sektor industri, Bhima mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melanjutkan relaksasi restrukturisasi kredit. Jangka waktu kebijakan itu bisa diperpanjang hingga 2025, dengan memperhatikan jenis usaha industri yang masih kesulitan untuk bangkit imbas pandemi.

“Nah ini mungkin ada perpanjangan waktu, bisa sampai 2025 untuk beberapa debitur yang memang kesulitan apalagi di tengah beban biaya bunga yang cukup mahal seperti sekarang. Jadi relaksasi kredit masih perlu diperpanjang,” katanya.

Selanjutnya, dari sisi konsumen atau masyarakat secara umum, pemerintah bisa mengevaluasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah naik menjadi 10%. Pajak itu bisa diturunkan hingga di bawah 9% sehingga bisa menstimulus sisi permintaan.

Related