Survei MarkPlus: Pendidikan Vokasi Masih Perlu Peningkatan Awareness

marketeers article
Books on desk in library at the elementary school

Meningkatkan jumlah siswa penerima pendidikan vokasi atau kejuruan diyakini mampu membantu percepatan Indonesia menjadi negara maju dengan kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang lebih siap kerja. Pasalnya, program pendidikan ini lebih menekankan pada keahlian praktis yang diperlukan pelajar ketika lulus dan masuk ke dunia kerja. Melihat adanya kebutuhan terhadap talenta siap kerja dan potensinya, MarkPlus, Inc. menggelar riset bertajuk Survei Ketertarikan Masyarakat terhadap Pendidikan Vokasi.

Riset ini bertujuan untuk mengetahui ketertarikan calon peserta didik atau orang tua terhadap SMK serta pendidikan tinggi vokasi. Ada beberapa hal yang menjadi fokus utama yaitu awareness responden, sumber informasi, persepsi, alasan ketertartikan, hingga keinginan untuk merekomendasikan pendidikan tinggi vokasi maupun SMK.

Secara keseluruhan mengenai awareness sendiri, mayoritas responden mengaku sudah mengetahui informasi mengenai pendidikan SMK dan pendidikan tinggi vokasi. Sejumlah 92,3% responden mengungkapkan bahwa mereka telah mengetahui informasi seputar SMK. Dan, 70,6% responden mengetahui informasi mengenai pendidikan tinggi vokasi.

Jika dilihat melalui sumber informasinya, survei MarkPlus, Inc. menemukan 58,3% responden mendapatkan informasi terkait SMK dan 51,8% responden mendapatkan informasi mengenai pendidikan tinggi vokasi melalui teman.

“Hasil survei menunjukkan tingkat pengetahuan responden terhadap pendidikan tinggi vokasi masih berada di bawah SMK. Namun, mayoritas responden mengaku sudah  aware terhadap pendidikan SMK dan pendidikan tinggi vokasi. Sumber informasi terbesar mengenai program pendidikan ini sendiri adalah teman,” ujar Taufik,  Deputy Chairman MarkPlus, Inc.

Survei ini juga memperlihatkan bahwa responden sudah banyak yang tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke SMK (82,05%) dan pendidikan tinggi vokasi (78,6%). Faktor ketertarikan terbesar mereka terhadap SMK dipengaruhi oleh prospek kerja yang dinilai bagus (57,8%) dan pilihan jurusan yang banyak (51,95%).

Sementara itu, faktor ketertarikan terbesar terhadap pendidikan tinggi vokasi dipengaruhi oleh prospek kerja yang bagus (68,7%), studi yang singkat (46,1%), dan dinilai dapat langsung bekerja setelah lulus (41,7%).

Ketertarikan responden terhadap pendidikan SMK dan pendidikan tinggi vokasi juga dipengaruhi cita-cita responden yang kebanyakan ingin menjadi pengusaha (20,2%). Selain itu, ada pula yang ingin bekerja sebagai desainer fesyen dan desainer grafis. Kedua pekerjaan tersebut memerlukan kemampuan khusus yang bisa diperkaya di pendidikan SMK maupun pendidikan tinggi vokasi.

Di sisi lain, responden dari kategori orangtua siswa SMA yang ingin agar anaknya memilih pendidikan tinggi fakultas non vokasi masih cukup tinggi dengan jumlah 41,3%. Pertimbangan mereka adalah kualitas dan reputasi dari instansi. Sedangkan, 37,9% responden dengan kategori orangtua siswa SMK ingin agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke pendidikan tinggi pada fakultas vokasi dengan pertimbangan prospek ke depan.

Menurut Hermawan Kartajaya, Founder dan Chairman MarkPlus, Inc., hasil survei ini menunjukkan bahwa masih ada kebutuhan peningkatan awareness terhadap pendidikan vokasi untuk dapat meningkatkan ketertarikan masyarakat serta membantu mereka yang bercita-cita sebagai entrepreneur.

“Setelah awareness dari pendidikan vokasi meningkat, bisa dilanjutkan untuk melakukan komunikasi terhadap kualitas dari SMK dan pendidikan tinggi vokasi. Hal ini kemudian akan bermuara pada pendekatan entrepreneurial marketing untuk pendidikan vokasi, khususnya kepada siswa SMK dan mahasiswa D3,” ujar Hermawan.

CEO dan Dean MarkPlus Institute Jacky Mussry mengungkapkan survei ini diharap mampu menjadi acuan bagi dunia pendidikan, terutama SMK dan pendidikan tinggi vokasi untuk terus meningkatkan awareness dan mengomunikasikan kualitas serta reputasi mereka.

“Pada dasarnya, pendidikan itu hanya sebagai katalis, yang mampu mempercepat perubahan untuk masa depan. Namun, semuanya kembali lagi pada individu masing-masing. Masa depan harus diciptakan sendiri dan tidak bergantung dari faktor lain tetapi individu itu sendiri,” tutup Jacky.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related