Tantangan Ekonomi 2023, Kenaikan Inflasi hingga Capital Outflow

marketeers article
Ilustrasi inflasi, sumber gambar: 123rf

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi gambaran suram perekonomian nasional tahun 2023. Melonjaknya angka inflasi dan ancaman modal keluar atau capital outflow menghantui ekonomi.. 

Dalam kondisi mencekam, Bank Indonesia (BI) harus bergerak cepat mengambil kebijakan guna meredam dampak buruk inflasi dan modal keluar. Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Indef menjelaskan dengan tren ekonomi yang memburuk, inflasi di Indonesia tahun depan diperkirakan sebesar 3,5% hingga 4%. 

Apabila inflasi mencapai perkiraan tersebut, maka pemerintah harus waspada. Sebab, dalam 10 tahun terakhir inflasi selalu berada di level 3% sesuai dengan target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Normalnya, inflasi di angka 3%. Pemerintah harus hati-hati dalam mengendalikan inflasi karena bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah akan terkena dampak sangat berat bila mencapai angka prediksi tersebut,” kata Ahmad dikutip dari Majalah Marketeers edisi November 2022.

Untuk, mengendalikannya, pemerintah harus melakukan beberapa hal, seperti menahan laju kenaikan cukai rokok, menurunkan harga tiket pesawat, dan mengendalikan kenaikan harga komoditas pangan. Untuk gejolak harga minyak mentah dunia, pemerintah diminta tidak menaikkan secara mendadak apabila terjadi lonjakan harga. 

Kenaikan harus dilakukan secara bertahap dengan persentase di bawah 10% atau single digit.

BACA JUGA: Inflasi, Pengertian dan Jenis-Jenisnya

Sementara itu, dari sisi capital outflow, diperkirakan arus modal yang keluar sepanjang tahun depan sebesar US$ 2 miliar atau setara Rp 30,6 triliun (kurs Rp 15.313 per US$). Jika sesuai perkiraan, maka rupiah akan terdepresiasi lebih dalam lagi. 

Alhasil, perusahaan-perusahaan yang memiliki pinjaman menggunakan dolar Amerika Serikat (AS) akan makin sulit membayar utang, termasuk bunga-bunganya.

“Normalnya, tingkat suku bunga di negara maju itu berada di level 2%. Kalau AS dan negara-negara maju menaikkan suku bunga hampir di angka 4% atau kemungkinan lebih besar lagi, otomatis capital outflow akan semakin besar. Implikasinya, nilai tukar rupiah akan semakin tertekan sehingga kalau BI tidak cepat mengambil kebijakan, maka ekonomi nasional akan semakin berat menghadapi krisis,” ucap Tauhid.

Seperti diketahui, perekonomian nasional maupun global tahun 2023 diperkirakan mengarah pada ketidakpastian. Ancaman inflasi, gangguan rantai pasok, naiknya harga minyak dunia, hingga situasi geopolitik global yang berkecamuk akan terus mengintai pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19. Selama lebih dari 2,5 tahun ini, pandemi COVID-19 telah memukul perekonomian dunia. 

Bahkan, dampaknya jauh lebih buruk dari krisis ekonomi yang pernah terjadi sebelumnya. Setelah pandemi secara perlahan tertangani, ekonomi dunia kembali terguncang oleh meroketnya harga minyak dunia akibat perang antara Rusia dan Ukraina. 

Pandemi telah menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Tercatat pada tahun 2019, pertumbuhan ekonomi berada di level 5,02%. 

Kemudian, pada tahun 2020 proyeksi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tingkat kemiskinan turun menjadi 7,5% hingga 8,5%. Kemudian, tingkat pengangguran terbuka turun 5,3% hingga 6%.

BACA JUGA: Ancaman Inflasi, Eiger Lakukan Adaptasi Ritel secara Cepat

Diikuti dengan gini rasio turun 0,375 hingga 0,378 dan indeks pembangunan manusia naik di level 73,31 hingga 73,49. Di sisi lain, emisi gas rumah kaca turut menjadi perhatian dengan penurunan di level 27,02%. 

Selanjutnya, nilai tukar petani dan nelayan berada pada level 103 hingga 105, serta 106 hingga 107.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related