Tasbih Sinergi, Bangun Kemandirian ABK

marketeers article

Terlepas dari potensi yang ada, anak berkebutuhan khusus (ABK) terbilang sulit menemukan tempat yang dapat menerima mereka di dunia kerja. Menjawab kekhawatiran itu, Sekolah Khusus Spectrum menghadirkan kegiatan pemberdayaan ABK sekaligus membantu perekonomian masyarakat sekitar.

Sekolah Khusus Spectrum merupakan sekolah yang menyediakan layanan terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) sesuai kondisi dan kebutuhan setiap anak. Proses pembimbingan dilakukan oleh tim profesional, mulai dari psikolog klinis, psikiater, hingga terapis. Namun, pertanyaan yang menghantui bagaimana nasib mereka setelah lulus?

Berawal dari kekhawatiran orang tua tentang masa depan anak-anaknya yang telah lulus, pihak sekolah mengambil inisiatif untuk mengadakan kegiatan produksi tasbih. Melihat lingkungan sekolah yang terletak di Tangerang Selatan, banyak masyarakat yang menganut agama Islam dan menggunakan tasbih ketika berdoa. Artinya, tidak perlu jauh-jauh bagi mereka untuk mencari pasar potensial dari tasbih ini.

Di sisi lain, meronce tasbih menjadi keterampilan yang dapat membantu beberapa ABK, terutama mereka yang memiliki kendala atensi konsentrasi dan pengontrolan emosi. Meronce dapat membuat mereka duduk tenang, rileks, dan tekun. Meski terkesan sederhana, kegiatan meronce merupakan keterampilan yang menantang dan pembelajaran bagi ABK.

Saat meronce, mereka harus mengukur benang, menghitung jumlah manik, memasukkan manik ke dalam benang, mengikuti pola, mengikat, hingga mengemas. Semua langkah tersebut dilakukan langsung oleh anak-anak ini walau mereka tetap mendapatkan bimbingan dari pengajar. Intinya, ide utama dari produksi tasbih adalah mengembangkan kemandirian dari ABK. Produksi tasbih ini membuktikan bahwa mereka bisa sukses tanpa perlu dikasihani.

Diprakarsai oleh salah satu pengajar bernama Sofie pada tahun 2018, mereka memulai dengan target 1.000 tasbih dalam tiga bulan pertama. Sesuai dengan perkiraan, target tersebut tidak dapat terpenuhi.

Namun, anak-anak berhasil membuat 300 tasbih yang kemudian dipasarkan oleh salah satu Founder Sekolah Spectrum, Sandra Talogo. Pemasaran produk terbilang sederhana, yaitu melalui network channeling. Hanya dari mulut ke mulut. Lalu, pemasaran sedikit berkembang ke WhatsApp kemudian Facebook. “Karena belum ada perhitungan jelas mengenai harga bahan dan jasa pembuatannya, kami mengalami kerugian. Saat itu, tasbih dijual seharga Rp 100.000 untuk satu lusin (12 buah),” ujar Sandra.

Respons masyarakat cukup baik. Tetapi, bukan hal mudah untuk benar-benar masuk ke dunia bisnis. Pihak sekolah yakin ada potensi lain yang bisa dikembangkan. Dengan upaya mengembangkan bisnis ini, mereka menyadari bahwa jumlah produksi nantinya akan semakin besar. Dan, anak-anak tentunya tidak dapat dituntut untuk menyelesaikan seluruh tasbih sesuai pesanan. Terlebih lagi, mereka juga harus menyesuaikan kondisi anak-anak.

Dengan target 1.000 tasbih setiap bulan dan pesanan yang bisa datang tiba-tiba, masyarakat di sekitar sekolah pun ikut diberdayakan. Mereka disebut pendamping. Namun, tugas mereka bukanlah mendampingi anak-anak ketika tengah berkegiatan meronce, melainkan ikut membuat tasbih.

“Awalnya saya merasa kesulitan untuk meronce ini. Hampir saya menyerah, tapi saya tekuni lagi. Kegiatan ini membantu saya sebagai masyarakat untuk memperoleh pendapatan tambahan. Jadi, saya bisa membantu keluarga,” ujar Puji, salah satu masyarakat pendamping ABK.

Puji meraih pendapatan sekitar Rp 400.000 setiap bulannya untuk 400 tasbih yang ia buat. Sama seperti masyarakat yang menjadi pendamping, anak-anak pun ikut merasakan hasil penjualan dari karya mereka. Rata-rata, ABK mendapatkan uang Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan, tergantung jumlah tasbih yang mereka produksi.

Sandra mengaku tantangan yang cukup berat bagi keberlangsungan usaha mereka saat ini adalah pemasaran produk.  Tantangan lain yang harus dihadapi adalah melatih ABK. Karena, sesuai gagasan utamanya, kegiatan ini dilakukan untuk melatih kemandirian mereka. Tujuannya, kelak anak-anak ini bisa memasarkan hasil karya mereka secara berkelanjutan. Tentunya, sesuai dengan fungsi dan kegunaan produk tersebut. Bukan karena rasa iba.

“Kami menemukan potensi dari anak-anak ini. Kami harus mencari jalan untuk masuk ke dunia bisnis. Semuanya berjalan tidak mudah karena kebanyakan dari para pembina di sekolah ini berlatar belakang psikologi. Hal itu tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi kami untuk mencari cara memasarkan hasil karya anak-anak,” ungkap Sandra.

Sepanjang tahun 2019 sendiri, setiap bulannya penjualan sudah melampaui kurang lebih 500 tasbih. Sandra menjelaskan, salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah menjalankan online shop dan melakukan promosi melalui media sosial.

Namun, berkat bantuan relawan, penjualan tasbih mulai dilakukan melalui e-commerce dan Instagram. Walau belum menunjukkan peningkatan yang besar, tetapi strategi ini bisa meningkatkan brand awareness mereka.

Tasbih karya ABK dari Sekolah Khusus Spectrum ini bisa dibeli dari harga Rp 17.000 per buah. Harga tasbih disesuaikan dengan manik dan pola yang ada. Kini, kemasannya pun telah berevolusi. Tidak hanya dengan plastik transparan dan ucapan terima kasih. Tapi, ditambah lagi dengan kisah pembuatan tasbih serta amplop coklat ivory dengan label.

Sekolah Khusus Spectrum berharap, masyarakat dapat mendukung aktivitas ini. Sebab, keberlanjutan pengembangan kemandirian ABK dapat dicapai jika karya mereka terus mendapatkan apresiasi masyarakat. Sehingga, nantinya tercipta sinergi antara ABK dan masyarakat luas, sesuai dengan nama karya mereka, Tasbih Sinergi.

Related