Tiga Elemen Penting Pada Budaya Inovasi

marketeers article
43317167 business man with cloud computing concept on blurred city background

Di dunia marketing, omnichannel atau integrasi antara platform online dan offline merupakan suatu keniscayaan. Karena itu, berbagai sektor bisnis dituntut untuk melakukan inovasi lebih cepat termasuk dari segi penerapan teknologi di dalam perusahaan.

Gunawan Susanto, Country General Manager Amazon Web Services Indonesia mengatakan, terdapat tiga elemen yang harus diperhatikan ketika melakukan proses inovasi dengan cepat, yaitu budaya atau culture organisasi, mekanisme, serta aristektur teknologi.

Pertama, budaya organisasi harus menjadi customer-centric. Artinya, inovasi yang dihadirkan harus menjadi solusi dari kebutuhan konsumen.

“Kata kuncinya adalah customer. Inovasi seperti apa yang dibutuhkan oleh mereka. Dari situ, kita bisa melakukan berbagai macam cara untuk mempermudah konsumen dan mengubah the way of doing business melalui teknologi,” pungkas Gunawan di gelaran MarkPlus Conference 2021: Transforming From Relief to Recovery, Rabu (09/12/2020).

Gunawan memberikan contoh Amazon Dash Cart, sebuah solusi teknologi terbaru dari Amazon mempermudah pengalaman belanja konsumen dengan menggunakan sensor dan algoritma, serta mengeliminasi proses antre bayar belanjaan.

Kedua, adalah mekanisme. Saat ini, lebih banyak perusahaan teknologi yang menerapkan lean methodology, yaitu proses inovasi dalam skala kecil namun sering dilakukan. Konsep ini akhirnya hanya memerlukan cost yang sedikit dan risiko yang minimal. Perusahaan pun harus berani menerapkan budaya eksperimen atau budaya berani gagal.

“Kita tidak perlu berfokus pada proyek besar, tapi harus fokus proyek kecil yang dapat dikembangkan setiap waktu. Starting small experiment dan melakukan iterasi. Jadi organisasinya adalah organisasi yang terus belajar,” jelas Gunawan.

Gunawan melanjutkan, karena perubahan yang dilakukan adalah perubahan kecil, eksekusi operasional harus dapat didesentralisasi ke unit terkecil. Mereka harus memiliki otoritas dalam melakukan perubahan-perubahan tanpa perlu adanya perintah dari top management. Proses inovasi pun dapat berjalan lebih cepat.

Terakhir adalah arsitektur teknologi, salah satunya melalui microservices atau biasa disebut leggo blocks. Gunawan mengatakan, terkadang pemimpin perusahaan takut dalam mengubah operasional bisnis, karena arsitektur yang digunakan masih monolitiks dan terlalu besar. Karena itu, harus di-breakdown menjadi kecil-kecil sehingga lebih fleksibel dalam melakukan perubahan.

Untuk melakukan perubahan dengan sangat cepat dibutuhkan rapid development. Artinya, sebuah inovasi harus didukung oleh building blocks technology, di mana moduler berbentuk kecil-kecil yang dapat dicopot pasang seperti leggo. Hasilnya, proses inovasi dapat dilakukan lebih cepat dari yang seharusnya.

Contohnya seperti yang dilakukan startup Jojonomics yang membuat inovasi sesuai dengan requirements dari customer enterprise. Karena mereka sudah memiliki teknologi atau moduler yang dibutuhkan, mereka hanya perlu mengembangkan yang sudah ada, sehingga inovasi dapat dilakukan dengan cepat hanya dalam waktu dua minggu.

“Kuncinya di sini adalah mindset untuk tidak takut kegagalan. Failure and invention are inseparable twins. Organisasi bisa membuat inovasi lebih cepat karena memiliki mindset eksperimen. Tujuan dari eksperimen adalah untuk mengkonfirmasi atau menolak suatu hipotesa. Sehingga, jika inovasi tidak bekerja bukan suatu kegagalan yang tabu, namun wajar dilakukan,” tutup Gunawan.

Editor: Ramadhan Triwijanarko

Related