TikTok dikabarkan menghentikan layanannya untuk pengguna di Amerika Serikat (AS) pada Minggu, 19 Januari 2025. Keputusan ini akan berjalan, kecuali langkah hukum dari pemerintah Biden yang memaksa perusahaan untuk menjual asetnya berhasil dihentikan oleh Mahkamah Agung atau Kongres.
Keputusan ini diambil setelah TikTok memilih untuk tidak melanjutkan operasinya di AS dalam kondisi terbatas seperti yang sebelumnya diperkirakan.
Secara teknis, pengguna di AS yang sudah memiliki aplikasi TikTok masih dapat menggunakannya, karena menggunakan aplikasi ini tidak akan menjadi tindakan ilegal. Dirangkum dari Gizmodo, Kamis (16/1/2025), penyedia layanan di AS, seperti Apple, Google, dan penyedia layanan cloud seperti Oracle, tidak lagi diizinkan untuk bekerja sama dengan anak usaha ByteDance ini.
Ini berarti aplikasi berbagi video tersebut akan dihapus dari toko aplikasi Apple dan Google, serta server yang mendukung operasional TikTok akan berhenti berfungsi.
Meski begitu, TikTok tetap dapat diakses di negara-negara lain. Dalam memo yang dikirimkan kepada karyawannya di AS, TikTok akan tetap memiliki pekerjaan meskipun layanan di AS dihentikan.
Popularitas TikTok secara global memungkinkan perusahaan untuk tetap beroperasi di luar AS tanpa gangguan. Secara teori, platform video vertikal ini masih bisa mempertahankan layanannya untuk pengguna di AS dengan menggunakan infrastruktur luar negeri, tetapi akan sulit untuk terus beroperasi tanpa kemampuan pembaruan dan unduhan aplikasi.
BACA JUGA: Jelang Pemblokiran, Beijing Kaji Opsi Jual TikTok AS ke Elon Musk
Sebelumnya, ada spekulasi bahwa TikTok akan tetap berfungsi di AS hingga akhirnya tidak lagi relevan karena ketinggalan teknologi. Namun, laporan terbaru menyebutkan bahwa TikTok lebih memilih untuk menghentikan operasinya secara langsung sehingga pengguna dapat merasakan dampak dari larangan tersebut secara nyata.
Sebuah pop-up di aplikasi direncanakan untuk memberikan informasi kepada pengguna mengenai alasan aplikasi tersebut tidak lagi berfungsi. TikTok menghadapi ancaman larangan ini karena pemerintah AS khawatir bahwa induk perusahaannya, ByteDance, yang berbasis di Cina, dapat diminta oleh pemerintah Cina untuk memengaruhi konten yang dilihat oleh warga AS atau menyerahkan data pribadi pengguna.
Pemerintah AS menginginkan platform video pendek ini dijual ke pemilik baru yang berbasis di AS. Namun, TikTok tidak akan menjual perusahaan dan mengeklaim langkah itu terlalu rumit secara teknis serta mendapat tentangan dari pemerintah Cina.
TikTok secara konsisten membantah bahwa pemerintah Cina memiliki kendali atas operasinya. Namun, laporan terbaru menunjukkan pemerintah Cina sedang mempertimbangkan kemungkinan menjual TikTok kepada pengusaha Elon Musk, yang memunculkan tanda tanya tentang sejauh mana pengaruh Cina terhadap perusahaan tersebut.
BACA JUGA: TikTok Terancam Diblokir di AS, ke Mana Perginya Konten Kreator?
Sementara itu, banyak pengguna, terutama generasi muda memprotes ancaman larangan ini. Beberapa di antaranya bahkan mulai beralih ke aplikasi video pendek serupa, seperti RedNote.
Namun, larangan ini diperkirakan tidak menghentikan kebiasaan scrolling generasi muda, yang kemungkinan besar beralih ke platform lain, seperti YouTube, Instagram, atau Snapchat.
Bagi para influencer, larangan ini menjadi pukulan berat karena dapat berdampak besar pada penghasilan mereka yang bergantung pada platform tersebut. Saat ini, Presiden terpilih Donald Trump telah meminta Mahkamah Agung untuk menunda larangan ini hingga resmi menjabat dan dapat menegosiasikan solusi.
Hingga saat ini, TikTok belum memberikan komentar resmi terkait laporan terbaru ini, sementara para pengguna dan pengamat masih menunggu perkembangan lebih lanjut terkait nasib aplikasi tersebut di AS.
Editor: Ranto Rajagukguk