Titiek Puspa, Elvy Sukaesih, Waldjinah dan Praktik Manajemen Para Seniman

Oleh: Christina Nawang Endah Pamularsih, Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UNSOED, Purwokerto.
Sudah menjadi kebenaran lama bahwa dalam karya, seniman tidak suka diatur-atur. Seniman menghindari sistem kerja yang kaku dengan alur dan proses sistematis yang ketat.
Intinya, seniman tidak pernah menganggap bahwa manajemen baik teori maupun praktiknya sebagai bagian penting dalam karya mereka. Beberapa seniman bahkan mengatakan manajemen itu mengganggu lahirnya kreativitas. Benarkah demikian?
Untuk mengetes pernyataan di atas, mari kita mulai dengan menjelaskan beberapa elemen fundamental dari ilmu manajemen.
Kita akan menggunakan gagasan Peter F. Drucker (1937-2005), seorang guru dalam teori manajemen, untuk menguji praktik kreativitas para seniman.
Inilah tiga gagasan utama tentang manajemen dari Drucker yang kemudian menjadi klasik.
Pertama, Drucker menggali filosofi manajemen. Ia merumuskan manajemen bukan sekadar rangkaian tugas, melainkan sebagai disiplin dan praktik yang esensial bagi organisasi.
BACA JUGA: Daftar Film yang Dibintangi Titiek Puspa, Sang Seniman Legendaris
Ia berpendapat bahwa tugas manajemen adalah menyeimbangkan antara efisiensi (doing things right atau mengerjakan hal secara benar) dan efektivitas (doing the right things atau menentukan hal yang benar untuk dikerjakan ).
Kemudian, Drucker mengangkat isu “tujuan dan pengukuran” sebagai topik kedua manajemen yang penting untuk dijadikan pegangan.
Ia dikenang dengan konsep Management by Objectives (MBO) yang menjadi acuan klasik. Tujuan yang diuraikan secara jelas dan hasil yang dapat diukur adalah segalanya. Logika ini meneguhkan pegangan struktural bahwa kinerja harus dapat diukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, Drucker mengajukan elemen yang ketiga, sentralitas manusia dalam manajemen.
Pada elemen ini, Drucker secara konsisten menekankan dimensi manusia dalam manajemen. Visi dan misi organisasi adalah untuk melayani manusia, baik itu karyawan, pelanggan, maupun masyarakat secara luas.
Ia berfokus pada manajemen sebagai alat untuk mengembangkan potensi manusia, menekankan bahwa karyawan adalah aset, bukan beban (liability, costs).
Berikutnya, mari kita menjelaskan praktik manajemen di antara para seniman dengan menggunakan tiga prinsip manajemen klasik dari Peter F. Drucker di atas sebagai acuannya.
Kita ambil tiga penyanyi legendaris Indonesia dengan tiga perbedaan genre musik sebagai sampel, Elvy Sukaesih (lahir 1951, dangdut), Titiek Puspa (1937, popular), dan Waldjinah (1945, keroncong-campur sari Jawa).
Kita memilih mereka bertiga dengan pertimbangan bahwa mereka meniti karier pada zaman yang kurang lebih sama, sudah pensiun, dan dengan demikian perjalanan kreativitas mereka bisa lebih obyektif untuk dievaluasi.
Pertama, Management as a Discipline and Practice. Sebagai ikon penyanyi dangdut legendaris, hidup dan karya Elvy Sukaesih memperlihatkan sebuah praktik manajemen yang terstruktur.
Ia terus menjaga relevansi dan eksistensi di industri musik dangdut melalui pengelolaan sumber daya (suara, gaya, dan reputasi) yang konsisten dan strategis. Elvy juga memanfaatkan jejaring dan kolaborasi dengan musisi lain, menunjukkan kemampuan mengelola hubungan profesional untuk keberlanjutan kariernya.
Rekan seiring Elvy dalam meniti kreativitas menyanyi dengan domain musik yang berbeda adalah Titiek Puspa. Terkenal sebagai penyanyi serba bisa, ia mempraktikkan manajemen multidisiplin dalam kariernya.
BACA JUGA: 70% Gen Z Anggap Posisi Manajerial Tak Sepadan dengan Beban Kerja
Sebagai penyanyi, musisi, dan aktris sekaligus, ia mampu mengelola talenta yang beragam dan menyeimbangkan peran di berbagai bidang seni.
Keberhasilan Titiek menunjukkan penerapan prinsip efektivitas (mengambil peran yang sesuai dengan bakatnya, doing things right) dan efisiensi (menggunakan waktunya secara maksimal, doing the right things).
Waldjinah, penyanyi dengan spesialisasi keroncong-langgam Jawa, mengelola kariernya secara konsisten dan menunjukkan kemampuan manajerial yang kuat dengan memanfaatkan momentum, seperti memenangkan berbagai kontes dan bintang radio Indonesia. Ia membangun merek pribadi sebagai penyanyi keroncong ternama.
Kedua, The Importance of Objectives and Measurement. Kesadaran Elvy akan pentingnya tujuan yang terukur nampak dalam keberhasilan dan banyaknya lagu yang populer dan dikenang hingga kini, seperti Pesta Panen, Bercanda, dan Jera.
Ia menargetkan dirinya untuk menjadi pelopor dangdut modern. Keberhasilannya dapat diukur dengan menciptakan karya-karya yang diakui secara nasional.
Kejelasan visi Titiek nampak dalam upayanya untuk memperluas pengaruhnya di berbagai genre dan medium seni. Keberhasilannya sebagai pelopor dan simbol seni Indonesia menunjukkan bahwa ia menetapkan tujuan besar namun terukur, yang diwujudkan melalui penghargaan dan karya yang terus dikenang.
Dikenal sebagai penyanyi tiga zaman, Titik meraih banyak penghargaan bergengsi, mulai dari BASF Award ke-10 dalam kategori Pengabdian Panjang di Dunia Musik (1994).
Ia juga dicatat di Rolling Stone Indonesia sebagai The Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa (2008).
Dalam musik dengan domain yang berbeda, tujuan karier Waldjinah adalah melestarikan dan mempopulerkan keroncong. Kesuksesannya diukur dari prestasi, penghargaan, dan pengakuan publik, yang semuanya menunjukkan efektivitas strateginya.
Menyebut nama Waljinah semacam identik dengan budaya Jawa. Nyaris separoh hidupnya memang didedikasikan untuk kesenian Jawa.
BACA JUGA: Sociolla Beauty Museum, Strategi Branding lewat Paduan Seni, Teknologi dan Kecantikan
Meskipun demikian Waljinah bisa mempertahankan popularitasnya hingga 3 jaman. Lagu Walang Kekek (1967) yang melambungkan namanya di Indonesia disamping juga lagu Jangkrik Genggong (1968).
Ketiga, The Centrality of People in Management. Elvy membangun hubungan erat dengan para penggemarnya, yang menjadi aset utamanya.
Ia memahami bahwa keberhasilannya tidak hanya bergantung pada dirinya, tetapi juga pada kesetiaan dan apresiasi dari masyarakat. Dengan selalu menjaga identitas dangdut yang merakyat, Elvy memperlihatkan fokus pada human-centric management.
Elvy secara rutin mengadakan acara meet and greet di berbagai daerah, terutama di komunitas penggemar dangdut. Dalam acara ini, ia tidak hanya berbagi cerita dan pengalaman, tetapi juga mendengarkan masukan dan aspirasi dari penggemarnya.
Sebagai seniman, Titiek menginspirasi generasi muda dan melibatkan mereka dalam berbagai proyek seni. Ia menempatkan manusia, baik penggemar maupun kolaborator, sebagai pusat dari keberhasilannya.
Kecintaan pada seni dan keinginannya untuk memajukan budaya menunjukkan pendekatan yang sangat berorientasi pada manusia. Titiek menciptakan lagu bertema sosial seperti Kupu-Kupu Malam yang memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan.
Waldjinah memahami pentingnya koneksi emosional dengan pendengar.
Dalam setiap lagunya, ia menciptakan pengalaman yang menggugah hati, menunjukkan bahwa ia menempatkan manusia sebagai pusat dari misinya.
Waldjinah membawakan lagu-lagu keroncong seperti Walang Kekek dengan interpretasi yang penuh perasaan, menghidupkan kisah-kisah dalam liriknya.
Cara ia menyampaikan lagu-lagu tersebut menggugah emosi pendengar, membuat mereka merasa terhubung secara mendalam dengan tema kehidupan, cinta, dan perjuangan yang diangkat dalam lagu.
Bagaimana pun, catatan kritis harus diberikan. Harus diakui bahwa para seniman kerap tidak mengapresiasi manajeman, baik dalam cara berpikir maupun dalam praktik mereka.
BACA JUGA: Mengenang Sosok Titiek Puspa Lewat 7 Lagu Legendarisnya
Tiga seniman di atas, kerap memiliki kelemahan-kelemahan yang juga dialami oleh para seniman pada umumnya.
Pertama, seniman kurang mengembangkan pendekatan manajemen sebagai disiplin kerja.
Mereka sering mengandalkan intuisi atau pengalaman pribadi tanpa strategi atau sistem formal.
Misalnya, banyak seniman memiliki pendekatan kreatif yang kuat, tetapi dalam beberapa fase kariernya, ia tampak kurang sistematis dalam mendokumentasikan atau mengelola katalog karyanya secara profesional.
Mereka tidak memanfaatkan strategi manajemen modern untuk memperluas jangkauan domain karyanya ke pasar yang lebih luas di era globalisasi.
Kedua, banyak seniman tidak menetapkan tujuan yang terukur atau indikator keberhasilan yang jelas dalam karier mereka, sehingga kesuksesan sering kali bersifat subjektif .
Kerap mereka hanya mempertahankan kesetiaan penggemarnya, tetapi kurang memprioritaskan ekspansi genre mereka, yang bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan yang terukur. Seniman memiliki tujuan mulia melestarikan kebudayaan, tetapi kurang menetapkan target spesifik.
Ketiga, para seniman sering kurang optimal dalam membangun tim manajemen yang solid atau menjalin hubungan strategis dengan kolaborator dan pemangku kepentingan lain.
Walaupun memiliki penggemar setia, mereka kurang memanfaatkan tim profesional yang dapat memperluas dampaknya.
Sikap fokus pada gaya tradisional sering kali membatasi eksplorasi kolaborasi modern. Seniman kerap kurang menekankan pada pengembangan jaringan yang lebih luas, seperti kemitraan dengan institusi budaya atau lembaga internasional untuk memperluas dampak seninya.
Editor: Eric Iskandarsjah Z