Transformasi Lebaran Marketing

profile photo reporter Taufik
Taufik
20 April 2023
marketeers article
Ilustrasi bermaaf-maafan saat Lebaran (Sumber: 123RF)

Oleh Taufik, Deputy Chairman MCorp dan Sekjen IMA

Lebaran merupakan salah satu seasonal marketing di Indonesia yang telah berjalan ratusan tahun. Jika mengacu pada dokumentasi yang ada di salah satu museum di Belanda, yaitu Tropenmuseum, maupun buku yang ditulis Snouck Hourgronje, seorang peneliti asal Belanda yang melakukan penelitian mengenai Islam dan Indonesia dalam kurun waktu tahun 1889–1939 -sebagaimana pernah disampaikan historia.id mengenai Lebaran di masa Pemerintahan Kolonial Belanda-, Lebaran bisa dirayakan meriah oleh masyarakat Indonesia meski sedang dalam masa penjajahan, dan tentu dalam kondisi ekonomi yang jauh dari sejahtera.

Begitu meriahnya, para pejabat pemerintahan Kolonial Belanda pun menyebut Lebaran sebagai “Tahun Baru Pribumi.” Momen ini dirayakan baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Selain membeli pakaian baru, masyarakat Indonesia saat itu juga merayakannya dengan makan-makan.

Di mata sebagian para pejabat pemerintahan Kolonial Belanda, belanja untuk merayakan Lebaran dianggap sebagai pemborosan. Karena duit yang tidak seberapa seperti dihabiskan untuk satu event saja. Terlepas bahwa itu menjadi salah satu event terbesar masyarakat Indonesia kala itu.

Pemerintahan Kolonial Belanda sendiri juga mengakui bahwa Lebaran merupakan event besar. Sampai-sampai mereka pun menjadikan Lebaran sebagai hari libur dua hari, yang terus bertahan hingga zaman Indonesia modern.

Padahal, selain menjadikan Lebaran libur dua hari, pemerintahan Kolonial Belanda memberlakukan libur di hari pertama puasa Ramadan.

Mengapa libur Lebaran sampai dua hari? Salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang lebih dikenal karena nama Perjanjian Roem Royen, yaitu Moehamad Roem, menjelaskan latar belakang keputusan pemerintahan Kolonial Belanda itu dalam “Awal dan Akhir Puasa” dalam Bunga Rampai dari Sejarah II. Karena selama bertahun-tahun memang ada tanggal yang berbeda untuk Lebaran, berdasarkan metode penghitungan atau melihat langsung.

Pemerintahan Jepang yang menjajah Indonesia -dalam waktu relatif pendek- juga melihat Lebaran sebagai sebuah seasonal marketing yang besar bagi masyarakat Indonesia.

Tradisi ini sudah berjalan bahkan dijadikan ajang kampanye pemerintahan Pendudukan Jepang, bahwa mereka punya kepedulian kepada masyarakat Indonesia, termasuk dalam perayaan Lebaran.

Titik baru

Setelah Indonesia Merdeka, Bung Karno dan para pemimpin Indonesia mengembangkan Lebaran ke titik baru. Tradisi salam-salaman setelah salat Idulfitri yang sudah ada sejak zaman Belanda dan zaman Jepang dikembangkan sebagai tradisi saling bermaaf-maafan selain merayakan Lebaran.

Sehingga Lebaran tidak lagi hanya merupakan perayaan tapi menjadi ajang silaturahmi, baik kepada keluarga maupun kepada teman atau bahkan pejabat.

Ucapan Selamat Hari Raya Idulfitri Mohon Maaf Lahir dan Batin pun kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perayaan Lebaran. Bukan hanya Lebaran greeting yang muncul setelah Indonesia merdeka, tapi juga lagu Lebaran. Ini yang membuat Lebaran sebagai sebuah seasonal marketing menjadi kian meriah setelah Indonesia Merdeka.

Sebagaimana terlihat dalam video setelah Indonesia menjadi negara merdeka, masyarakat Indonesia saat itu merayakannya dengan bepergian keliling kota setelah mengunjungi keluarga.

Selain itu, warga di kota besar pun memanfaatkan gratis naik trem yang diberlakukan di hari Lebaran. Ini adalah langkah lain Lebaran marketing yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat Republik masih berusia muda.

Harus diakui tingkat kesejahteraan masyarakat berpengaruh pada Lebaran sebagai seasonal marketing. Mudik yang sebetulnya sudah ada sejak zaman Belanda hingga masa akhir pemerintahan Bung Karno belum terlihat sebagai mobilitas jarak jauh yang masif. Yang ada adalah mudik jarak dekat. Kalaupun pemudik mesti menginap, lebih karena operasional transportasi yang terbatas.

Televisi yang sebetulnya sudah mulai muncul di Indonesia di masa pemerintahan Bung Karno juga masih terbatas kepemilikan dan persebaran. Bahkan, radio yang lebih terjangkau harganya pun juga masih terbatas kepemilikan dan sebarannya. Sehingga Lebaran sebagai seasonal marketing belum memanfaatkan keberadaan televisi dan radio.

Tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat di masa pemerintahan Soeharto mulai membuat Lebaran sebagai seasonal marketing yang meriah. Seiring dengan kemajuan ekonomi yang ada, semakin banyak orang yang mulai bekerja di perkotaan yang mana mereka bahkan datang dari wilayah yang jauh.

Sebagian dari mereka berhasil mendapatkan penghasilan yang bagus, sehingga bisa menabung. Ada yang bisa mempunyai biaya mudik ke lokasi yang jauh dan ada yang bahkan bisa membeli kendaraan yang kemudian dipakai mudik.

Pada saat mudik, mereka menjadi representasi berbagai keberhasilan yang diraih saat bekerja di tempat yang jauh. Semakin lama, jumlah orang yang mudik pada saat Lebaran semakin membesar. Ini tidak lagi terbatas pada mereka yang bekerja di tempat jauh dan pulang ke kampung halaman, tapi juga mereka yang misalnya pergi kuliah. Mereka yang sudah dan akan melakukan mobilitas vertikal membuat mudik sebagai sebuah ritual baru Lebaran marketing.

Perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa yang telah berjalan sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman Bung Karno mulai berubah menjadi momentum memperbesar mobilitas vertikal.

Ajang untuk melakukan mobilitas vertikal pun kian beragam dari beberapa kota utama Indonesia meluas ke kota-kota satelit di kota-kota utama. Inilah yang kemudian membuat fenomena mudik semakin lama semakin membesar.

Kemeriahan Lebaran marketing di era Soeharto bukan hanya karena mulai muncul fenomena mudik, tapi juga fenomena Lebaran di media. Seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, mulai muncul kampanye mendorong konsumsi terkait Lebaran.

Salah satu yang fenomenal adalah biskuit Khong Guan, sebagai sebuah kebiasaan yang dikampanyekan untuk perayaan Lebaran. Televisi yang semakin menyebar tingkat kepemilikannya pun mulai menjadikan perayaan menyambut Lebaran sebagai sebuah seasonal marketing yang meriah.

Pada tahun 1970-an, muncullah nama Persatuan Artis Ibukota atau Papiko yang kemunculannya ditunggu-tunggu menjelang Lebaran. Mereka selain menampilkan artis yang sudah dikenal luas masyarakat juga artis baru waktu itu, seperti Warung Kopi Prambors -Dono, Kasino, Indro.

Tentu saja tidak hanya televisi atau radio yang meramaikan Lebaran marketing tapi juga media cetak. Itu tidak sekadar menampilkan iklan-iklan yang terkait Lebaran, tapi juga membantu banyak warga bersiap menghadapi Lebaran.

Beberapa majalah perempuan selain membagikan resep-resep kue Lebaran yang bisa dibuat sendiri di rumah, juga menyediakan denah baju Lebaran yang bisa dicontoh untuk dibuat mereka yang mau menjahit sendiri baju Lebaran.

Lebaran sebagai seasonal marketing di masa Soeharto semakin berkembang ketika grup Bimbo membuat Lebaran carol, kumpulan lagu yang khusus dibuat menyambut puasa dan lebaran yang menurut Syam Bimbo diilhami Christmas carol.

Itulah sebabnya sekalipun iklan di televisi sempat di-stop pada zaman Soeharto, kemeriahan Lebaran marketing secara elektronik tidak berhenti.

Lagu-lagu Lebaran carol-nya Bimbo bukan hanya diputar di radio atau di rumah-rumah tapi berbagai masjid selama bulan puasa, termasuk lagu Aisyah Adinda Kita yang dikenal sebagai theme song kampanye jilbab di Indonesia hingga berkembang menjadi salah satu industri besar pada saat ini.

Mulai munculnya televisi swasta pada zaman Soeharto membuat Lebaran marketing menjadi momentum marketing tahunan terbesar di Indonesia. Perusahaan mulai menjadikan bulan puasa dan menyambut Lebaran sebagai ajang kampanye besar-besaran yang sampai mengubah norma prime time.

Saat tengah malam hingga Subuh yang selama ini susah dijual stasiun televisi, termasuk sekalipun ada pertandingan besar sepakbola bisa dijual karena menjadi ajang menemani santap sahur. Tentu aspek silaturahmi yang ditandai dengan ajang memohon maaf yang mulai popular di era Bung Karno juga terus berjalan di era Soeharto.

Media rajin mengabadikan bagaimana Soeharto, sekalipun menjadi orang nomor satu di Indonesia melakukan sungkem kepada mertuanya, sebelum menerima sungkem anak-anak, menantu dan cucu.

Para pejabat dan warga kemudian berkunjung mengucapkan selamat Idulfitri dan mohon maaf lahir dan batin yang kemudian menjadi fenomena nasional selain mudik.

Fenomena mudik

Fenomena Lebaran marketing tersebut kian membesar setelah Soeharto turun dari kekuasaan. Dan, yang paling terlihat adalah semakin banyaknya orang yang mudik setiap tahun. Sehingga di salah satu negara terbesar di dunia, mudik selama Lebaran menjadi salah satu mobilitas musiman terbesar di dunia.

Ilustrasi fenomena mudik di era modern (Sumber: 123RF)

Berbagai generasi pemimpin bangsa pasca-Soeharto menjadikan fenomena Lebaran marketing sebagai salah satu driver pembangunan infrastruktur.

Ada yang kebagian melakukan perencanaan pembangunan, melakukan pembebasan lahan, melakukan pembangunan, hingga pemanfaatan untuk arus mudik. Para pemudik menjadikan mudik bukan sekadar silaturahmi dan menunjukkan proses mobilitas vertikal, tapi juga upaya membangun kampung halaman.

Itulah sebabnya, Lebaran marketing bukan hanya perputaran uang terkait dengan konsumsi jangka pendek tapi juga upaya perbaikan kampung halaman. Mulai dari rumah tempat tinggal masa kecil tapi juga ke fasilitas publik seperti jalan atau masjid kampung atau bahkan sekolah. Sehingga, sarana dan prasarana di kampung halaman tidak lagi seperti bumi dan langit dengan di tempat tinggal dan bekerja.

Lebaran marketing yang dulu dianggap sebagai pemborosan di masa Kolonial Belanda, setelah ribuan purnama berubah menjadi upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kegiatan yang mendorong konsumsi pun kemudian menjadi kegiatan perluasan penyerapan kerja seiring dengan semakin beragamnya permintaan barang dan jasa.

Sebab itu, sekalipun ada penurunan produktivitas karena panjangnya waktu yang digunakan untuk merayakannya, Lebaran menjadi seasonal marketing tahunan mendorong persebaran pergerakan perekonomian Indonesia.

Related