Dunia kerja terus mengalami perubahan. Salah satu tren terbaru yang mulai banyak diterapkan adalah micro shift, yakni sistem kerja dengan durasi singkat dan waktu yang fleksibel, biasanya hanya berlangsung sekitar 4 hingga 6 jam.
Forbes mendefinisikan tren ini sebagai respons terhadap kebutuhan pekerja, utamanya Gen Z, yang ingin menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi tanpa harus terikat pada jam kerja penuh waktu.
Micro shift memungkinkan seseorang untuk bekerja dalam satu atau dua sesi pendek per hari di berbagai perusahaan. Jeda di antara waktu kerja itu biasa digunakan untuk mengurus keperluan pribadi seperti mengantar anak, belajar, atau bahkan bekerja di tempat lain.
Contohnya, seorang ibu muda dapat memilih untuk bekerja dari pukul 9 hingga 12 siang, lalu kembali bekerja dari pukul 3 hingga 6 sore. Fleksibilitas semacam ini membuat banyak pekerja merasa lebih leluasa dalam mengatur jadwal tanpa harus mengorbankan penghasilan.
BACA JUGA: Bukan Work-Life Balance, Work-life Harmony jadi Pendekatan Baru untuk Hidup Seimbang
Munculnya Micro Shift dalam Dunia Kerja
Fenomena ini bukan muncul tiba-tiba. Sejak kemunculan platform seperti Uber, TaskRabbit, dan Handy, sistem kerja berbasis tugas (gig economy) mulai diperkenalkan. Dengan itu, seseorang tak lagi harus menjadi karyawan tetap untuk bisa mendapatkan pekerjaan.
Awalnya, sistem ini banyak digunakan oleh pekerja dengan keterampilan rendah yang membutuhkan pemasukan tambahan. Namun belakangan ini, tren fleksibilitas merambah kalangan profesional, seperti desainer, konsultan, dan pekerja teknologi.
Kini, pekerja shift, seperti staf ritel, pegawai restoran, dan perawat mulai menuntut fleksibilitas yang sama. Mereka ingin bekerja, namun dengan kendali atas kapan dan berapa lama mereka bekerja.
BACA JUGA: Mengenal Rust-Out, Bosan karena Kurangnya Stimulasi di Tempat Kerja
Menurut Silvija Martincevic, CEO Deputy, Gen Z adalah kelompok yang paling banyak mengisi pekerjaan micro shift saat ini. Bagi mereka, pekerjaan bukan sekadar status atau loyalitas pada perusahaan, tetapi bagian dari hidup yang perlu disesuaikan dengan kebutuhan pribadi.
“Tren ini juga menciptakan fenomena baru bernama poly-employment, yakni kondisi di mana seseorang menjalankan beberapa pekerjaan dari berbagai perusahaan dalam waktu yang bersamaan,” jelas Martincevic, dikutip Selasa (15/4/2025).
Perubahan cara kerja ini juga menuntut perusahaan untuk beradaptasi. Mereka tidak lagi bisa berharap pekerja hanya bekerja penuh waktu. Sebaliknya, mereka harus membuka sistem kerja yang lebih fleksibel, baik dari sisi jadwal maupun manajemen tenaga kerja.
Editor: Ranto Rajagukguk