Trump 2.0 dan Dunia Bisnis: Hermawan Kartajaya Ajak Reimajinasi Operational Excellence

Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih pada periode 2025–2029 membawa dampak besar ke berbagai sektor global, termasuk dunia bisnis di Indonesia.
Di tengah ketidakpastian yang muncul karena kebijakan tarif baru Amerika Serikat (AS), Founder and Chair MCorp, sekaligus pakar pemasaran Hermawan Kartajaya mengajak pelaku bisnis Indonesia untuk “membayangkan ulang” cara mereka menjalankan operasional.
Dalam sesi perdana LEAD 2025 Masterclass yang digelar pada 24 April 2025, Hermawan membuka diskusi dengan membandingkan posisi negara-negara besar dunia, seperti AS dan Eropa.
“Kalau iPhone diobral, apa orang enggak beli semua? Beli semua. iPhone diobral, beli semua, tapi cost-nya murah,” ujarnya saat pemaparan, Kamis (24/4/2025).
Pernyataan itu menunjukkan betapa kuatnya strategi efisiensi biaya dari AS, begitu juga brand-nya, terutama dalam konflik perang tarif antara AS dan Cina. Meski sudah bukan rahasia bahwa banyak merek mewah yang barangnya diproduksi dari Cina, ketegangan dagang yang sekarang timbul menurut punggawa pemasaran ini akan dimenangkan dari mereka yang mampu mengelola branding-nya.
Dari data World Trade Organization, Cina, AS, dan Jerman, adalah eksportir terbesar di dunia saat ini. Saling todong tarif baru ini memicu gejolak secara global, karena banyak negara yang bergantung pada tiga negara ini.
Hermawan juga menekankan bahwa Eropa tetap unggul karena kekuatan merek.
“Eropa tetap menang, karena dia punya brand. Bikin brand itu nggak gampang,” ujarnya.
Menurutnya, pada era penuh persaingan ini, membangun merek yang kuat menjadi kunci penting untuk bertahan dan unggul.
Reimajinasi Operational Excellence di Era Trump 2.0
Bicara kepiawaian Cina dalam memproduksi beragam barang, Hermawan memperkenalkan konsep “Operational Excellence Reimagined”, yaitu pendekatan baru untuk meningkatkan kinerja operasional perusahaan. Menurutnya, excellence atau keunggulan operasional bukan lagi semata-mata soal produksi, tetapi harus mencakup empat unsur utama yang disebut dengan Quality (kualitas), Cost (biaya), Delivery (pengiriman), dan Service (layanan) atau QCDS.
“Operation Excellence itu bukan produksinya, tetapi QCDS-nya itu,” ucap Hermawan.
Ia kemudian menjabarkan bahwa perusahaan harus mulai memikirkan ulang bagaimana cara meningkatkan kualitas produk dan layanan, menekan biaya, mempercepat pengiriman, serta memberikan pelayanan yang lebih baik.
“Brand besar Amerika, itu sudah tidak perlu produksi barang sendiri. Mereka cukup buat desain barangnya, dan minta vendor untuk kerjakan,” ucapnya dengan nada reflektif, menekankan pentingnya pemikiran strategis dan tidak hanya terpaku pada operasional harian.
Tantangan dan Peluang Baru di Indonesia
Dalam presentasi yang berjudul “LEAN: Operational Excellence Reimagined”, Hermawan juga menyoroti tantangan global seperti perang tarif, kekhawatiran krisis keuangan, hingga perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang menuntut tenaga kerja untuk melakukan reskilling. Namun, ia melihat ini bukan sebagai hambatan, melainkan peluang baru bagi bisnis di Indonesia untuk berkembang lebih efisien dan inovatif.
Salah satu pendekatan yang diajukan Hermawan adalah melalui model QCDS yang melibatkan kombinasi antara nilai emosional dan spiritual dalam kualitas produk, efisiensi biaya yang menyeluruh (termasuk biaya tetap dan variabel), rantai nilai yang terintegrasi, serta peningkatan kualitas interaksi dan lingkungan fisik dalam layanan.
“Sekarang di dalam waktu Trump 2.0 ini, kita harus perhatikan bahwa Lean-nya: Operation Excellence reimagined,” ucap Hermawan sembari mengingatkan bahwa dunia usaha tidak bisa lagi menjalankan metode lama jika ingin bertahan di tengah kompetisi global yang makin ketat.
Hermawan juga melihat bahwa kondisi perdagangan global saat ini, terutama setelah AS mengenakan tarif baru terhadap sejumlah negara dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk mengisi celah pasar global. Produk buatan Indonesia bisa bersaing karena harganya yang lebih murah, terutama jika pelaku bisnis dapat menerapkan prinsip QCDS secara efektif.
Editor: Ranto Rajagukguk