
Ada hal yang jauh lebih berbahaya dari pada perang militer, yakni perang kebudayaan. Mendiang Ilmuwan Politik asal Amerika Serikat Samuel P Huntington dalam bukunya berjudul “The Clash of Civilization” memprediksi bakal terjadi benturan antarkebudayaan.
Boleh dibilang tesis ilmuwan yang meninggal pada tahun 2008 dalam usia 81 tahun ini sudah lama terjadi. Benturan kebudayaan terjadi, khususnya di tengah gelombang globalisasi yang makin tak terbendung ini. Saat itu, ia meramal usai berakhirnya perang antar negara dan konfilik kapitalisme versus komunisme, perang kebudayaan bakal terjadi.
Gagasan Huntington ini tampaknya juga diamini oleh Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko. Dalam wawancaranya dengan Marketeers, Moeldoko mengatakan, hal yang patut waspadai sekarang adalah perang budaya. Hal ini ia sampaikan dalam perbincangan bertema wilayah perbatasan Indonesia yang selama ini terpinggirkan. Secara khusus lagi dalam konteks kesiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
“MEA itu bukan nanti, tapi sudah terasa sekarang ini. Yang kita bangun adalah semangat competitiveness. Kita harus bangun semangat mampu bersaing dengan negara lain. Dalam konteks militer, intervensi dimengerti sebagai yang terkait dengan manusia dan persenjataan. Tetapi, dalam konteks sosial, budaya, dan ekonomi, tukang pijat dari Tiongkok “menyerang” ke sini justru bisa lebih berbahaya,” ujar Moeldoko.
Mengapa lebih berbahaya? Menurut Moeldoko ancaman dalam bentuk militer bisa lebih dikenali dan diantisipasi. Ancaman militer, baginya, merupakan ancaman tradisional. Tetapi, ancaman yang sifatnya nonmiliter maupun nonstate justru semakin sulit untuk dikenali. “Seperti yang dikatakan Ayatullah Khomeini dalam gagasan perang kebudayaan. Ia mengatakan, ciri-ciri ancaman tersebut adalah membuat korbannya senang,” katanya.
Contohnya, narkotika. Sudah banyak korban berjatuhan, tetapi korban-korban itu menikmati. Dalam hal makan, misalnya, Moeldoko menyebut selama ini orang “dijajah” McDonald’s. Tetapi, banyak orang tidak menyadari dan malah menikmatinya.
Indikasi lain dari korban dalam perang kebudayaan tadi adalah korban dibuat cemas. Fast Food itu enak, tetapi juga mencemaskan karena memengaruhi kesehatan. Banyak yang enak tetapi penuh risiko.
“Jadi, kita harus hati-hati karena perang kebudayaan sedang terjadi di sekeliling kita. Boleh dibilang perang kebudayaan lebih berbahaya daripada perang militer, karena ini menyangkut peradaban manusia,” kata Moeldoko.
Apa yang patut diperhatikan agar Indonesia tidak babak belur dalam perang kebudayaan ini, khususnya di wilayah perbatasan yang riskan terhadap pengaruh buruk dari negara lain?
Ikuti dialog langsung bersama Jenderal TNI (Purn) Moeldoko dalam Forum Terbuka “Merah Putih Berkibar Jaya di Perbatasan” pada Selasa, 8 September 2015, pukul 14.00 – 17.00 WIB di Philip Kotler Theater, MarkPlus Main Campus, EightyEight@Kasablanka Lantai 8, Jakarta. CP: Mutiara (081322005157).