WTO Gugat RI soal Nikel, Perhapi Dukung Kelanjutan Program Hilirisasi

marketeers article
PTPP Putuskan Lanjutkan Proyek Smelter di Mempawah Kalbar. (FOTO: 123rf)

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mendorong pemerintah tetap melanjutkan program hilirisasi di sektor pertambangan. Di tengah ancaman Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia wajib memperhatikan kondisi sumber daya di dalam negeri.

Rizal Kasli, Ketua Umum Perhapi mengatakan apa pun keputusan WTO, Indonesia tetap melakukan optimalisasi sumber daya yang dimiliki untuk kemajuan industri dalam negeri.

“Jika nantinya Indonesia kalah atau harus kembali membuka keran ekspor nikel, masih banyak hal yang dapat dilakukan agar hilirisasi terus berjalan. Indonesia tidak akan dengan mudah mengekspor bijih nikel yang saat ini menjadi incaran berbagai negara,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Selasa (13/9/2022).

Rizal mengungkapkan Indonesia diberi kelebihan sumber daya yang ada, sehingga potensi itu wajib digunakan secara maksimal untuk kemajuan bangsa dan negara. 

“Apa pun keputusan WTO nanti yang paling harus dijaga adalah kepastian terhadap investasi yang ada saat ini. Pemerintah harus mengamankan rantai pasok bijih nikel terhadap industri yang telah dan akan tumbuh, yakni pabrik peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery),” ujar Rizal.

Selain meningkatkan tarif ekspor, pemerintah juga dapat mengatur jumlah produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) pemegang izin pertambangan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dapat membatasi produksi guna menjaga umur cadangan nikel dalam negeri.

Selain itu, kata Rizal, seperti yang telah dilakukan di batu bara, pemerintah juga bisa menerapkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) bagi para pemegang izin produksi pertambangan nikel. Ini wajib dilakukan guna memastikan kebutuhan negeri dapat terpenuhi.

Hilirisasi nikel yang telah berjalan harus mendapatkan jaminan bahwa pabriknya tidak akan kekurangan pasokan.

“Berbagai kebijakan ini akan bermuara pada ekspor menjadi tidak menarik, dan industri yang telah tumbuh dipastikan akan terus tumbuh. Di sisi lain, secara ekonomis, industri yang dekat dengan bahan baku akan lebih menguntungkan,” ucap Rizal.

Rizal menuturkan tuntutan dari Uni Eropa juga harus menyadarkan pemerintah akan kepastian dan kenyamanan berinvestasi. Indonesia, telah mengeluarkan berbagai izin kepada para investor, namun dalam pelaksanaannya masih banyak hambatan di lapangan.

Tidak jarang, izin yang telah diterbitkan tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada dukungan di daerah. Kepastian hukum terhadap izin pun terkadang menjadi pertanyaan tersendiri.

“Kita sudah hidup di dunia tanpa batas, sehingga setiap investor dapat memilih di mana pun ia akan berinvestasi. Untuk itu, pemerintah juga harus berbenah dan tidak hanya sekadar melarang atau memperketat ekspor bahan mentah,” tuturnya.

Ia menyampaikan penciptaan iklim investasi yang nyaman dan aman serta memiliki kepastian hukum haruslah benar-benar dijalankan. Sinkronisasi dan harmonisasi pusat dan daerah, penertiban pertambangan ilegal, kemudahan dan kecepatan mengurus perizinan, dan dukungan implementasi di lapangan harus menjadi prioritas.

“Intinya, para investor hadir karena kenyamanan dan keinginan, bukan keterpaksaan,” kata Rizal.

Saat ini, aktivitas pembangunan pabrik nikel berteknologi pyrometallurgy kian masif, di satu sisi menimbulkan kekhawatiran terhadap cadangan nikel kadar tinggi. Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, jika eksplorasi lanjutan tidak dilakukan, serta cadangan tidak bertambah, cadangan hanya akan dapat mensuplai kebutuhan pabrik sekitar tujuh tahun saja.

Apabila keran ekspor dibuka, hal itu justru membahayakan karena terkait keberlangsungan industri berbasis nikel yang sudah berjalan baik di Indonesia mengingat kegiatan hilirisasi nikel telah memberikan efek berganda yang besar berupa peningkatan devisa, peningkatan pendapatan domestik bruto, penyerapan tenaga kerja, serta penerimaan negara dan daerah.

Related