Bagaimana Seharusnya Politikus Menggunakan Strategi Branding Politik?

marketeers article
strategi branding politik | sumber: 123rf

Indonesia sudah masuk ke tahun politik yang kian memanas. Meski tahun politik, namun dalam pengaplikasiannya tidak terlepas dari strategi branding dan marketing. 

Suka tidak suka, pertempuran yang terjadi di dunia politik tidak jauh berbeda dengan persaingan di dunia bisnis. 

Semuanya berkaitan dengan mempersuasi target market, mendorong orang agar mau memilih, terlepas para politikus memahami ilmunya atau tidak, namun konsep dan tekniknya memang benar strategi branding dan marketing.

Ignatius Untung, Praktisi Marketing dan Behavioral Science, menjelaskan mengenai bagaimana para tokoh politik menerapkan strategi branding politik.

“Pertarungan politik adalah tentang perang branding. Siapapun yang terpilih dan tidak terpilih bukan sekadar capable atau tidak, tetapi tentang kemampuan untuk mempersuasi target market,” ujar Untung dalam Program Market Think pada kanal YouTube Marketeers TV.

Ketika brand sudah mampu berbicara, maka audiens tidak lagi berfokus pada hal-hal detail dan mendalam. Misalnya saja persaingan antara Apple dan Samsung yang meski fiturnya hampir-hampir mirip, namun harga jualnya berbeda, namun keduanya tetap mampu menemukan target pasar yang sesuai.

Sama halnya dengan kontestasi politik, masyarakat dalam kondisi tidak sebenar-benarnya mengetahui tokoh politik mana yang layak menjadi presiden dan wakil presiden.

BACA JUGA: 5 Taktik Political Marketing, Strategi Raup Banyak Suara di Pemilu 2024

Bahkan, sebagian besar masyarakat sekitar 70% sudah memiliki pilihannya sendiri sebelum kampanye dimulai. Mereka juga menentukan pilihannya dengan sangat loyal dan sulit untuk digoyahkan. Hal itu semua karena faktor brand. 

“Branding bukan cuma soal exposure. Memasang baliho adalah tentang memperluas exposure, tetapi exposure-nya bisa jadi sia-sia ketika racikannya tidak kuat,” jelas Untung.

Berbeda tentu jika tokoh politik yang memiliki racikan yang sudah kuat, maka baliho mungkin tidak lagi diperlukan. Misalnya saja Jokowi, SBY, atau tokoh nasional lainnya. 

Jika racikannya sudah kuat, tokoh politik tersebut tidak perlu lagi membawa modal besar karena racikannya sudah cocok dengan pasarnya, sehingga mempunyai exposure, logistik, dan partisan yang sangat organik. 

Strategi branding politik

Berikut beberapa strategi branding politik yang saat ini banyak dan dapat dengan mudah terlihat pada para tokoh politik:

1. Bangun racikan yang kuat sebelum kampanye

Pertama, tokoh politik membutuhkan waktu yang cukup untuk menemukan racikan yang kuat terlebih dahulu sebelum buru-buru kampanye dan koar-koar sana-sini. 

Setelah racikan yang kuat sedikit demi sedikit terbentuk, maka exposure yang ingin dibangun akan terbangun dengan sendjrinya. 

Jika racikannya masih belum kuat namun sudah berkampanye besar-besaran, mungkin saja tokoh politik tersebut bisa dikenal, namun dikenalnya tidak menjadi pilihan utama. 

BACA JUGA: Cross-category Marketing: Strategi Efektif untuk Keluar dari Pasar Jenuh

2. Bangun keunikan yang jadi kunci pengingat

Kedua adalah membangun keunikan yang bisa membedakan salah satu paslon dengan paslon lainnya.

Brand itu harus membangun uniqueness agar dapat dengan mudah untuk diingat karena brand ini adalah intangible things yang tidak bisa dirasakan”, tuturnya. 

Brand bukan sesuatu yang bisa dipegang dan dirasakan secara langsung, tetapi sebuah konsep tumbuh dan terbangun di benak konsumen.

Oleh karena itu, keunikan menjadi dasar utama dalam strategi branding agar sesuatu mudah diingat oleh otak. Anda tentu bisa menemukan beberapa keunikan ini pada capres-cawapres yang ada saat ini. 

3. Relevan dan autentik

Keunikan yang dibangun dalam branding politik haruslah relevan dan otentik dengan persepsi publik yang terbangun. Otentik ini juga berarti keunikan yang terbentuk tersebut haruslah benar-benar melekat dengan kepribadian sekaligus rekam jejak dari sang politisi. 

Capres-cawapres yang saat ini mencalonkan diri tentu memiliki keunikan-keunikan yang dapat Anda evaluasi apakah benar-benar relevan dan otentik dengan target audiens yang menilainya.

4. Bangun branding politik dengan konsistensi

Selanjutnya adalah konsisten yang menjadi pembuktian dari strategi branding sebelumnya. 

Brand is all about perception and perception will match reality”, ujar Untung.

Untung menyampaikan bahwa brand adalah sebuah persepsi dan akan diuji ketika menemukan kenyataan karena brand tidak boleh hanya sekadar persepsi saja.

Jika brand hanya sampai pada sebuah persepsi yang tidak sesuai dengan realita, maka itu disebut sebagai pencitraan.

Misalnya persepsi bahwa tokoh politik pro rakyat, namun tidak pernah ketemu rakyat. Ini hanya disebut pencitraan saja karena tidak sesuai antara persepsi dengan realita yang terjadi.

“Konsistensi ini menjadi ujian yang sesungguhnya untuk membuktikan bahwa persepsi sejalan dengan realita. Jika tidak otentik, maka sulit untuk bisa konsisten, malah jatuhnya menjadi pencitraan,” jelas Untung mengenai strategi branding politik.

BACA JUGA: Kenali 6 Komponen Branding yang Membentuk Suatu Brand

Related