BI Pertahankan Tingkat Suku Bunga di Level 6%

marketeers article
Bank Indonesia (BI). (FOTO: 123rf.com)

Bank Indonesia (BI) mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG). Dengan begitu tingkat deposit facility sebesar 5,25% dan suku bunga lending facility sebesar 6,75%.

Perry Warjiyo, Gubernur BI menuturkan keputusan mempertahankan BI Rate di level 6% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability. Ini dicapai dengan penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024.

BACA JUGA: Bank Indonesia Dorong Penggunaan Local Currency Transaction di Beijing

“Kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga,” kata Perry melalui keterangannya, Rabu (21/2/2024).

Menurutnya, keputusan menahan tingkat suku bunga acuan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dunia diprakirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang masih tinggi. Ekonomi global diprakirakan tumbuh sebesar 3,1% pada 2023 dan 3% pada 2024, lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya masing-masing sebesar 3% dan 2,8%.

BACA JUGA: Total Transaksi Pameran UKM Bank Indonesia Capai Rp 207 Miliar

Perbaikan terutama ditopang lebih kuatnya kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India sejalan dengan konsumsi dan investasi yang tinggi. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Cina yang masih lemah serta kontraksi pertumbuhan ekonomi di Inggris dan Jepang yang telah terjadi dalam dua kuartal berturut-turut dapat menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia.

Kemudian, faktor lain, yaitu eskalasi ketegangan geopolitik yang masih berlanjut juga dapat mengganggu rantai pasokan, meningkatkan harga komoditas pangan dan energi, serta menahan laju penurunan inflasi global. Perkembangan ini mengakibatkan ketidakpastian di pasar keuangan dunia masih tinggi.

Suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diprakirakan baru mulai menurun pada semester II 2024, sejalan dengan inflasi di Amerika Serikat (AS) yang masih tinggi. Yield US Treasury kembali meningkat sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia).

“Perkembangan tersebut menyebabkan menguatnya dolar AS secara global, menahan berlanjutnya aliran masuk modal asing, dan meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market. Kondisi ini memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia,” ujarnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related