Bisnis Wajib Memiliki Diferensiasi, Lesson Learned dari Ayam Goreng Sekandang

marketeers article
Menu ayam goreng utuh dan nasi basmati di gerai Ayam Sekandang Pondok Labu (Foto: Marketeers/Hafiz)

Bisnis sewajarnya memiliki diferensiasi. Jika tidak, konsumen akan kesulitan mengidentifikasi merek. 

Apalagi, bila merek berbisnis di ranah yang sudah banyak kompetitornya. Ayam goreng menjadi salah produk yang jamak ditemui. 

Tak cuma di rumah, baik restoran konvensional maupun warung makan yang sederhana setidaknya memiliki menu ini. Memang, tak semua orang mampu untuk mengonsumsi ayam goreng setiap hari. 

Namun, eksistensinya hingga kini membuktikan cita rasa masakan ini lekat di lidah masyarakat Indonesia, kecuali vegetarian. Terbukti, dua waralaba besar asal negeri Paman Sam mampu tumbuh dan memiliki cabang bisnis hingga puluhan tahun, dengan berjualan ayam goreng.

Mudahnya akses terhadap komoditas daging unggas ini juga mendorong konsumsi daging ayam makin meroket. Kebebasan memilih bumbu ayam goreng, mulai dari yang sederhana hingga kompleks menjadi alasan mengapa makanan ini hampir selalu ada di meja makan setiap rumah tangga.

Setidaknya hal tersebut yang diamini Nissi Ariowisesa, Founder & Owner Ayam Goreng Sekandang. Laki-laki yang karib disapa Nissi ini yakin ayam goreng menjadi bagian dari memori banyak orang ketika tumbuh besar dan dewasa.

Membuat ayam goreng yang mampu mengingatkan konsumen akan cita rasa ayam rumahan adalah alasan mengapa ia mendirikan bisnis ini.

BACA JUGA: Sistem KFC Jalankan Quality Control untuk Ayam Goreng

“Jadi, sebetulnya tanpa kita sadari, ayam goreng jadi salah satu comfort food. Comfort food yang paling sering kita makan,” kata Nissi kepada Marketeers.

Keyakinan tersebut yang mendorongnya untuk merintis Ayam Goreng Sekandang pada akhir tahun 2021. Model bisnis menjual ayam goreng tentu bukan hal yang baru di Indonesia.

Nissi bersama mitra bisnisnya sepakat membawa diferensiasi, yang akhirnya menjadi nama belakang bisnis ini, Sekandang. Tentu kata tersebut memberikan kesan berjumlah banyak.

Akan tetapi, memang ukuranlah yang menjadi diferensiasi dari produk usaha ini. Ayam goreng utuh, atau kerap disebut whole chicken menjadi produk pertama yang dijual usaha ini.

Ayam utuh yang digoreng juga bukan diferensiasi yang pertama dilakukan di Indonesia. Karenanya, Nissi dan mitra bisnisnya memutar otak. 

Akhirnya, cara memasak ayam utuh inilah yang membedakan produk ini dari yang lain. Ayam utuh pertama-tama dimasak dengan teknik sous vide

Dibaca sufi, teknik memasak ini dikembangkan dari Prancis, yakni cara memasak bahan makanan yang sudah divakum ke dalam air dalam suhu tertentu. Teknik memasak ini membutuhkan waktu yang relatif lama.

Selesai proses sous vide, ayam utuh tersebut akan didiamkan hingga suhunya mencapai suhu ruangan. Kemudian, ayam akan dicelupkan ke dalam mentega. Barulah, ayam utuh itu akan digoreng secara deep fried selama 5-7 menit.

“Kami ingin membuat ayam goreng yang bukan industrial, tetapi mengusung cita rasa masakan ibu. Rasa rumahannya ada, kasualnya ada dan kami juga lokalisasi rasa ke lidah orang Indonesia,” kata Nissi.

Selain ayam goreng utuh, apa yang membuat produk usaha ini berbeda juga datang dari cara penyajiannya. Usaha ini menyajikan ayam goreng tersebut dengan saus orisinil buatannya, yakni honey garlic, yang terbuat dari campuran madu dan potongan cabai dan bawang putih.

Ada juga pilihan saus lain seperti sambal matah, sambal bawang, dan saus keju. Dengan pilihan saus tersebut, ayam goreng ini disajikan dengan nasi dari beras basmati.

Awalnya usaha ini hanya menjual ayam goreng utuh saja karena target yang disasar adalah ibu muda. Lambat laun, seiring pertumbuhan popularitas usaha, ayam goreng mulai disajikan per potong.

Untuk satu ekor ayam goreng ini dijual dengan harga Rp 105.000, sementara untuk dua potong ayam senilai Rp 47.000. Untuk varian dua potong ayam tanpa tulang dijual dengan harga Rp 40.000 hingga Rp 45.000.

Bukan cuma masakannya, perancangan produk dengan diferensiasi yang matang membawa usaha ini melejit. Dalam kurun hampir dua tahun, usaha ini sudah memiliki tiga gerai yang berlokasi di Pondok Labu, Melawai, dan Bintaro.

Per bulannya, usaha ini mampu menjual ayam goreng rata-rata mulai dari 2.500 hingga 3.000 ekor. Angka tersebut tak lepas dari teknik pemasaran yang tepat dan penjualan yang omnichannel.

Berdiri saat pandemi COVID-19, usaha ini paham betul bahwa “aturan mainnya” jelas perlu memiliki saluran penjualan online. Bergabung sebagai mitra layanan antar-pesan makanan, memanfaatkan media sosial, dan juga aplikasi texting seperti WhatsApp membawa bisnis ini bertahan hingga sekarang.

Meski sudah dirancang dengan begitu seksama, bukan berarti usaha ini langsung mulus dalam usianya yang masih belia. Nissi menceritakan bukan sekali dua kali ayam gorengnya ditolak.

Ada pula ulasan negatif dari konsumen, mulai dari yang relevan hingga tidak relevan sama sekali dengan produk.

BACA JUGA: Review: Bagaimana Rasanya Makan Ayam Sekandang?

“Kami jadikan itu untuk bounce back. Buat lebih improve quality, improve dari segala sisi. Semacam motivasi untuk jadi lebih maju dalam developing product,” ujarnya.

Hingga kuartal pertama tahun 2024 nanti, usaha ini bertekad untuk membuat central kitchen. Dapur sentral dimaksudkan agar proses sous vide dan pembuatan aneka saus dan sambal dilakukan dalam satu tempat. 

Nantinya, setiap cabang tinggal menerima ayam yang sudah siap goreng. Urusan ekspansi, usaha ini masih merasa betah bercokol di area Jakarta. 

Hingga tahun 2025 nanti, usaha ini memperdalam bisnisnya di area Jakarta, sembari membangun cabang-cabang baru di area Tangerang dan Bekasi. Ekspansi ini menurutnya, dilakukan sembari dengan pengembangan infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi. 

Sejak awal didirikan, Nissi dan mitra berencana tidak akan menggunakan skema waralaba atau franchise. Nissi beserta mitra berkeputusan menjalankan usaha ini dengan skema kemitraan. 

Dia bilang skema ini memberikan rasa kepemilikan yang sama dalam membangun Ayam Goreng Sekandang.Dalam skema kemitraan, urusan operasional, branding, marketing, dan manajemen akan diatur oleh pusat. 

Menurutnya, skema ini memudahkan para pemilik mengontrol dan menjaga kualitas produk.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related