Brand, Purposeful atau Purposeless?

marketeers article
Ilustrasi: 123RF

Oleh Ignatius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science 

“Don’t buy this jacket.” Begitu headline sebuah iklan merek pakaian outdoor, Patagonia. Dalam kampanye tersebut Patagonia, yang memang selama ini dikenal sebagai merek yang punya tradisi untuk menyuarakan pesan-pesan kemanusiaan, mengajak konsumen untuk tidak membeli jaket yang ia iklankan. 

Dalam body copy iklannya, Patagonia menjelaskan bagaimana pembuatan sebuah jaket memiliki konsekuensi besar untuk kelestarian lingkungan. Untuk satu jaket butuh 135 liter air, emisi setara 20 pound karbondioksida, hingga sampah yang beratnya bisa mencapai dua pertiga dari berat jaket tersebut. Patagonia memang percaya dengan prinsip 4P-nya, People, Planet, Purpose, dan Profit

Menariknya, profit diletakkan di urutan paling belakang menunjukkan kepercayaannya untuk berbuat baik untuk manusia, lingkungan melebihi kepentingan untuk menghasilkan uang. Patagonia begitu konsisten dengan purpose-nya itu, beberapa kampanyenya mendorong orang untuk memperbaiki sendiri jaket yang masih dimiliki. Bahkan, website-nya menyediakan tips untuk memperbaiki jaket yang bisa dilakukan sendiri di rumah. 

Mereka juga mendorong orang menjual produk bekasnya dan memfasilitasinya. Ketika pandemi mulai melanda, Patagonia juga mengajak konsumennya untuk mendonasikan pakaian bekas layak pakainya yang tentunya jadi jarang digunakan akibat terbatasnya aktivitas kepada orang-orang yang membutuhkan. Patagonia memang satu dari sedikit merek yang secara all out mendorong prinsip brand with purpose, bahkan dengan risiko kehilangan penjualan.

Purposeful brand ala IKEA

Purposeful brand memang bukan hal baru. Merek-merek seperti IKEA jelas-jelas merumuskan purpose yang sangat mulia untuk memberi napas bisnisnya, “to create a better everyday life for the many people”. IKEA tidak sekadar menjual furnitur, tapi setiap produk yang diproduksi dibuat dengan kesadaran penuh bahwa produk-produk tersebut mengusung misi mereka membantu banyak orang menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik di rumahnya. 

Maka dari itu, IKEA selalu menyempatkan untuk mengunjungi keluarga-keluarga yang menjadi target pasarnya dan menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengerti apa yang menjadi aspirasi dan sumber kegelisahan mereka. Dengan begitu, IKEA bisa mengerti bagaimana mereka bisa membantu keluarga-keluarga itu untuk menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik. Atas dasar itu, produk-produk IKEA bukan sekadar dibuat sedap dipandang, tapi juga fungsional dan sangat resonate dengan kehidupan sehari-hari mereka. Purpose mulia itu juga terlihat pada bagaimana toko IKEA lebih terlihat sebagai “tempat piknik” keluarga, ketimbang toko furnitur membosankan yang membuat anak-anak akan menangis jejeritan menarik kedua orang tuanya untuk segera keluar dari kebosanan itu.

Purposeful brand pula yang membawa Just do it milik Nike bisa bertahan hingga 30 tahun lebih tanpa sedikit pun diganti. Purpose Nike “to unleash the athletes in you” diembuskan dengan begitu nyata dan hidup dalam setiap detail penampilan mereknya. Sebegitu teguh purpose Nike, membuatnya tidak bergeming sedikitpun ketika kampanye, “Believe in something even if it sacrifice everything,”  mendapat penolakan hingga terjadi gerakan bakar sepatu Nike. 

Keteguhan hati itu pula yang akhirnya menggerakkan banyak orang yang masih memiliki akal sehat untuk menyuarakan kepercayaan Nike yang mulia itu. Situasinya lalu berbalik 180 derajat menjadi amat sangat menguntungkan Nike. Saham Nike terkerek naik secara signifikan melewati record tertinggi sebelumnya.

Merek harus memiliki purpose atau tidak?

Namun begitu, kepercayaan bahwa merek harus memiliki purpose mulai mendapat penentangan. Dua orang profesor marketing dari Australia dan beberapa orang profesional di bidang marketing dengan track record yang mumpuni mulai menyuarakan pendapatnya tentang bagaimana konsep purposeful brand sebagai idiotic idea. Mereka berpendapat bahwa purpose tidak akan membawa uang, membuat brand message menjadi kabur dan tak jelas, dan karenanya hanya akan membuang waktu dan tenaga. 

Mereka percaya konsumen harus diberi pesan yang jelas, yaitu alasan mengapa konsumen membeli produk, yaitu fitur dan penawaran yang jelas. Mereka tidak sepenuhnya menentang konsep purpose. Hanya saja, mereka memilih untuk tidak menempelkan itu dengan merek, melainkan menyarankan untuk dijalankan sebagai misi perusahaan untuk juga berkontribusi kepada lingkungan dan orang-orang di sekelilingnya.

Saya dengan yakin, memilih untuk menjadi pengikut kelompok purposeful brand, namun tetap terbuka dan penuh hormat mendengarkan kubu yang tidak percaya konsep purposeful brand sebagai penyeimbang. Dalam buku Start with Why, Simon Sinek mengedepankan bagaimana sesuatu yang jelas alasan (the why)-nya akan menjadi pembeda signifikan. Karena pada akhirnya ide di belakang mengapa produk diciptakan akan punya daya persuasi dan daya menggerakkan yang lebih kuat lagi. 

Simon Sinek menjelaskan bagaimana Apple menjadi merek yang berbeda dibanding produk sejenisnya. Itu didorong oleh the why yang amat sangat kuat yang dimiliki Apple. Dalam videonya yang lain, Sinek juga menjelaskan bagaimana tujuan perusahaan bukan untuk menghasilkan uang. Ibarat mobil butuh bensin, maka perusahaan butuh uang. Tapi, bukan uang yang menjadi tujuan perusahaan, sama seperti bukan bensin yang menjadi tujuan sebuah mobil. 

BACA JUGA: Brand Identity: Perusahaan Harus Memikirkan 4 Hal Ini

Jika kita berkaca dari teori service dominant logic, semua produk pada dasarnya dibeli bukan karena barang fisiknya, melainkan karena fungsi dan manfaat yang didapatkanya. Ketika kita membeli mobil mewah dengan tenaga besar, yang kita beli bukan wujud mobil dan mesinnya, tapi manfaat yang kita dapatkan untuk bisa bertransportasi dengan kecepatan tinggi. Bahkan, lebih dari itu, selalu ada goal lebih tinggi dari apa pun manfaat yang kita dapatkan. 

Kesempatan untuk bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan di atas rata-rata yang ditawarkan mobil bertenaga besar itu dalam rangka untuk mencapai goal yang lebih besar lagi. Bisa melakukan lebih banyak hal dalam satu hari agar bisa memberikan kehidupan lebih baik untuk keluarga atau tujuan lebih besar lainnya. Intinya, apa pun yang kita beli, bukan bentuk fisiknya yang kita beli, melainkan manfaat untuk bisa mencapai tujuan besarnya. Tujuan besar itu yang harus di-deliver oleh brand purpose.

Brand purpose dan kerja otak

Otak manusia memiliki built in program untuk selalu sense making. Tujuannya, untuk bisa survival, mengantisipasi pain atau pleasure yang mungkin datang. Maka dari itu, bahkan pembelian-pembelian emosional yang kita lakukan selalu saja ada alasan yang terdengar rasional. Keputusan membeli mobil mewah untuk kepuasan emosional seringkali didukung oleh berbagai pembenaran rasional. “Ini supaya aku lebih dipandang di kantor” atau “Ini supaya aku lebih giat lagi bekerja”, begitu pembenaran yang sering terucap. Brand purpose juga membantu otak untuk sense making dengan memberikan konteks yang relevan dan terdengar plausible.

Selanjutnya, seperti pernah saya bahas sebelumnya, otak manusia lebih mengingat cerita ketimbang daftar hal yang harus diingat. Mereka yang pernah mengikuti training memory boost  tahu bagaimana merangkai cerita terhadap hal-hal yang perlu kita ingat akan membantu kita mengingat dengan lebih cepat dan lebih awet. Brand purpose, selain berfungsi sebagai kepercayaan, juga sebagai narasi alias storytelling yang akan membuat otak konsumen lebih teryakinkan dan mengingat lebih kuat lagi.

BACA JUGA: Strategi Unifam Bangun Brand Milkita Tetap Eksis Selama 26 Tahun

Ilmu leadership mengajarkan kita untuk selalu membangun kepercayaan, build belief, untuk bisa mendorong tim berjalan beriringan lebih jauh, bahkan tanpa perlu didampingi apalagi di-micro manage. Pemimpin-pemimpin yang baik tidak hanya memberikan daftar things to do, tapi things to believe in. Untuk bisa membuat orang-orang mengerti dan bisa secara otomatis bisa menjalankan apa yang ada di kepala kita, kita perlu membangun pengertian dan kepercayaan dalam diri mereka mengenai mengapa ini baiknya dilakukan. 

Ketika itu terjadi, maka leader tidak perlu terus menerus duduk di samping anggota timnya untuk memberi arahan. Tim yang sudah berbagi the same belief akan tahu apa yang harus dilakukan, bahkan pada situasi-situasi yang tidak dibayangkan sebelumnya. Brand purpose juga bekerja dengan cara yang sama, ia membangun kepercayaan, memberi arahan tentang mengapa merek ini layak untuk didukung.

Secara psikologis, brand purpose yang mulia seperti yang dimiliki Patagonia menghadirkan good feeling di dalam hati mereka yang percaya dan mau berjalan bersama. Faktanya, manusia memang sebegitu senangnya untuk feel good. Maka dari itu, kita bertindak tidak sepenuhnya seperti apa kata teori ekonomi klasik, mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. 

Dalam banyak kesempatan, kita berbagi tanpa berharap kembali. Memberi hampers, mengirimkan makanan dengan alasan masak kelebihan, memberikan oleh-oleh, dan berbagai cara berbagi yang pada akhirnya memunculkan good feeling itu tadi. Kita tidak kehabisan cara untuk berbagi pada berbagai macam kesempatan mulai dari hari raya, hari ulang tahun, hari jadi. Bahkan, tanpa ada hari special, kita berbagi. Ketika kita memberi, di luar dugaan, ternyata kita feel good. Ini terjadi karena ketika kita berbagi hormon sosial kita yang bernama oxytocin dikeluarkan. Kita jadi ketagihan. Brand purpose yang mulia memberi kita feel good dan asupan oxytocin untuk kemudian kita ulangi terus menerus.

Secara praktis, brand purpose berguna sebagai pembeda sekaligus panduan kita untuk menentukan apa yang harus dikejar, jalan mana yang harus dituju, seberapa bagus produk harus dibuat, dan fitur apa yang harus atau tidak harus dibuat. Tanpa brand purpose sebagai tujuan, kita akan selalu kebingungan di tengah jalan untuk menentukan apakah produk ini sudah cukup baik atau masih perlu diperbaiki lagi karena tidak ada tujuan yang ingin dicapai selain menghasilkan uang. 

Tanpa purpose yang jelas, maka satu-satunya pedoman kita untuk memutuskan apakah apa yang kita lakukan sudah benar atau belum adalah bagaimana ini menghasilkan uang. Kita akan terjebak secar pragmatis untuk menghamba pada uang dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.

Ketika produk kita yang jelek terjual habis, kita tidak memacu diri kita untuk lebih baik lagi. Hingga suatu saat datang pesaing yang lebih baik dan kita kehilangan pangsa pasar. Namun, kembali kita mengejar lagi untuk lebih baik, hingga kita berhasil merebut pangsa pasar dan mendapat uang. Kondisi itu terus berulang hingga konsumen sadar bahwa satu-satunya yang kita pedulikan adalah uang mereka. Pada titik itu kita akan kehilangan mereka selama-lamanya.

Brand adalah trust, dan trust tercipta ketika kita peduli dan mau melakukan yang terbaik untuk membantu konsumen mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Lihatlah teman-teman yang dekat dengan Anda hanya karena uang Anda.  Bagaimana Anda memercayainya? Terkadang kita tidak punya pilihan, namun ketika pilihan itu ada, maka Anda akan memilih untuk meninggalkannya. 

BACA JUGA: Korean Brands in Indonesia: Analysis and Recommendations

Prinsip reciprocity mendorong kita untuk membalas apa pun yang orang lakukan kepada kita. Mata ganti mata, tangan ganti tangan. Toh, kita sudah membuktikan dalam terlalu banyak momen dalam hidup, kita siap untuk memilih yang kita percayai lebih dari yang terbaik. Maka dari itu, kita setia dengan pasangan kita, bahkan ketika di kemudian hari kita menemukan yang lebih baik.

Sebab itu, purpose-purpose pragmatis seperti fokus mencari keuntungan atau menjadi yang terbaik akan kesulitan mengalahkan purpose-purpose yang lebih menggugah hati.

Namun begitu, brand purpose  harus dirumuskan secara otentik dan jujur. Brand purpose bukan pencitraan untuk sekadar terlihat baik. Karena pada akhirnya brand purpose yang tidak otentik, tidak jujur dan hanya sebagai kedok saja akan tercium seiring bagaimana kita terlihat tidak benar-benar meyakini dan menghidupinya. Sama seperti bagaimana kita bisa mencium orang-orang penuh kepura-puraan di sekitar kita.

Pertanyaannya, sudahkah merek Anda memiliki purpose yang menyentuh hati? 

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related