CIPS: Harga Telur Melonjak, Obatnya Relaksasi Impor Jagung

marketeers article
CIPS: Harga Telur Melonjak, Obatnya Relaksasi Impor Jagung (FOTO: 123RF)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah perlu merelaksasi impor jagung untuk menstabilkan harga telur. Kenaikan harga telur yang terjadi selama hampir sepekan ini, salah satunya, disebabkan oleh tingginya harga jagung yang merupakan bahan utama pakan ternak.

‘’Relaksasi impor diperlukan untuk merespons kebutuhan jagung untuk pakan ternak karena pasokan domestik belum mencukupi kebutuhan ini. Sayangnya impor jagung pakan ternak masih restriktif karena hanya terbuka untuk BUMN dengan API-U,’’ kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi dalam keterangannya, Rabu (17/5/2023).

Data Kementerian Perdagangan (Kemendag, 2023) menunjukkan, ada kenaikan harga jagung yang signifikan di tingkat petani sejak awal tahun 2023. Antara Januari dan Februari 2023, harga jagung di tingkat petani meningkat sebesar 45,57% dari Rp4.049/kg menjadi Rp5.894/kg.

Harga tersebut makin meningkat pada Maret 2023 mencapai Rp 6.008/kg. Apalagi, harga jagung terbaru untuk peternak sudah melebihi Harga Acuan (HAP) Rp 5.000/kg seperti yang ditunjukkan Peraturan Badan Pangan Nasional No.5/2022.

Data Databoks Katadata menunjukkan, rata-rata harga jagung internasional seminggu terakhir adalah US$ 589,39 per bushel. Harga rata-rata ini naik dibandingkan pekan sebelumnya yang tercatat US$ 589,32 per bushel.

Berdasarkan data Food Monitor yang dihimpun CIPS dari United States Department of Agriculture (USDA), rata-rata produksi jagung Indonesia 2018-2022 hanya mencapai 12,28 juta ton. Sementara itu, rata-rata tingkat konsumsi tahunannya diperkirakan melebihi 13,26 juta ton.

BACA JUGA: CIPS: Lembaga Pengawas Data Pribadi Harus Masuk Prioritas Presiden

Selisih antara produksi domestik dan kebutuhan ini dipenuhi dengan impor. Faktor lain yang memengaruhi ketersediaan dan harga jagung antara lain adalah produksi jagung yang tidak stabil sepanjang tahun.

Selain itu, biaya transaksi yang tinggi yang harus ditanggung industri pemakai (peternak dan pabrik pakan) turut memengaruhi harga jagung. Hal ini timbul karena panjangnya rantai distribusi domestik yang melibatkan petani jagung, pengepul, pedagang, dan penggilingan, sebelum tiba di industri pengguna. 

Jagung domestik juga kurang diminati industri pengolahan bahan makanan karena kadar air dan tingkat aflatoksin yang tinggi. Jagung domestik umumnya dipanen secara manual dengan tingkat kadar air yang masih tinggi, sebagian mencapai lebih dari 35%, lalu dikeringkan dengan cara dijemur dan disimpan dengan tingkat kadar air 16-17%. 

Proses ini memakan waktu lama, rawan memunculkan pertumbuhan jamur dan dapat menimbulkan biaya tambahan untuk pengeringan.

BACA JUGA: CIPS: Innovative Credit Scoring Perluas Inklusi Keuangan

Sayangnya, Permendag 25/2022 (Perubahan atas Permendag 20/2021) hanya memperbolehkan BUMN dengan API-U untuk mengimpor jagung pakan ternak. Seharusnya pemenuhan kebutuhan jagung perlu didukung dengan membuka lisensi impor untuk pihak swasta.

Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk membuka kesempatan bagi swasta untuk mengimpor jagung pakan ternak untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Pasalnya, telur ayam merupakan sumber protein utama di Indonesia, harga yang tinggi tentu akan memengaruhi konsumsi protein, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Relaksasi impor jagung memungkinkan penurunan harga bagi konsumen akhir karena komposisi jagung dalam pakan hewan ternak mencapai 50%. Impor jagung akan menurunkan biaya produksi ayam sehingga menguntungkan, tidak hanya untuk produsen ayam tetapi juga konsumen, terutama yang berpenghasilan rendah, dengan akses kepada ayam dan telur yang lebih terjangkau. 

Selain itu, jagung juga merupakan salah satu komponen bahan konsentrat pakan olahan yang digunakan oleh peternak ruminansia seperti sapi dan kambing. Menghapuskan proteksi perdagangan untuk jagung juga memungkinkan Indonesia melakukan modernisasi industri ayam, menjadikannya lebih efisien dan mungkin mengembangkan keunggulan komparatifnya pada masa depan.

“Jika kenaikan harga jagung tidak segera teratasi, pemerintah dan masyarakat perlu waspada dengan kemungkinan terus meningkatnya harga telur dan komoditas seperti daging ayam, unggas, dan daging sapi ke depannya,” tutur Azizah.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related