CIPS: Literasi Digital Diperlukan untuk Hadapi Ancaman Dunia Maya

marketeers article
CIPS: Literasi Digital Diperlukan Untuk Hadapi Ancaman Dunia Maya (FOTO:123RF)

Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan literasi digital adalah hal yang wajib dipahami untuk mendukung transformasi digital. Salah satunya untuk menghadapi potensi ancaman dari dunia maya. 

Dia menambahkan selain merupakan keniscayaan dalam menghadapi transformasi digital, literasi digital juga dibutuhkan untuk tujuan penggunaan internet secara produktif.

“Hal-hal yang berpotensi mengancam tersebut diantaranya adalah penipuan, pelanggaran atas data pribadi dan misinformasi atau terpapar hoaks,” kata Peneliti CIPS Nadia Fairuza dalam siaran tertulisnya, Jumat (26/8/2022).

Data Digital Literacy Index 2021 yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan KataData menunjukkan, dari empat pilar literasi yakni digital culture, digital skills, digital ethics, digital safety, yang terakhir memiliki skor terendah. Itu menunjukkan belum semua masyarakat menyadari bahaya yang menyertai aktivitas-aktivitas mereka di dunia digital.

Berkembangnya platform yang mengandalkan pengumpulan informasi konsumen untuk menciptakan personalised content membuka ruang bagi platform ini untuk melanggar privasi konsumen. Di ranah EdTech, hal ini juga semakin membuka peluang pelanggaran data pribadi anak-anak.

Data Badan Pusat Statistik (2021) menunjukkan sebanyak 88,99 persen anak usia 5 tahun ke atas sudah menggunakan internet dan mengakses media sosial. Sebanyak hampir 90 persen anak-anak ini menggunakan ponsel pintar (smartphone) untuk mengakses internet.

Banyaknya anak yang mengonsumsi internet memperlihatkan pentingnya penguasaan literasi digital sejak usia dini. Berdasarkan data dari Digital Civility Index (DCI), Indonesia menempati urutan ke 29 dari 32 negara, dan merupakan negara dengan ranking terburuk se-Asia Pasifik pada tahun 2020. 

Sebagai sebuah inisiatif dari Microsoft, DCI mengukur tingkat keberadaban pengguna internet di berbagai negara di dunia. Ia memperlihatkan masyarakat Indonesia kerap kali terlibat dalam penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan diskriminasi.

Posisi dalam indeks ini memperlihatkan perlunya perbaikan perilaku masyarakat dalam menggunakan internet. Perilaku yang buruk ini menyebabkan masyarakat tidak dapat memanfaatkan internet untuk tujuan positif.

Penelitian CIPS merekomendasikan urgensi untuk memperkenalkan literasi digital dan dasar-dasarnya sejak dini untuk meningkatkan resiliensi dalam menyiasati perkembangan teknologi informasi. Untuk itu, literasi digital perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional mengingat pentingnya ilmu dan kompetensi dalam menggunakan teknologi dan internet bagi kehidupan sehari-hari.

Nadia menilai membiasakan cara berpikir kritis, mengajarkan penggunaan teknologi, memperkenalkan konsep-konsep penting, yaitu persetujuan (consent), batasan (boundary), serta data personal yang tidak boleh dibagikan di ruang maya seperti alamat, password, nama orang tua, dan lain sebagainya harus mulai diajarkan sedini mungkin di sekolah.

“Selanjutnya perlu terus membimbing mereka menggunakan teknologi dengan aman dan bertanggung jawab,” ujarnya.

Hal ini mengisyaratkan pentingnya pembekalan orang tua, guru, dan pengasuh anak dengan literasi digital agar mereka dapat membimbing anak-anak mereka dalam menggunakan teknologi internet. Kemendikbudristek memiliki banyak program literasi, akan tetapi hanya terbatas pada mendukung kebiasaan membaca, dan bukan untuk meningkatkan literasi digital. 

Sudah sewajarnya jika literasi digital menjadi program utama di tengah peningkatan upaya digitalisasi pendidikan di Indonesia.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related