Dilema Marketing: Follow The Money atau Follow The Trend?

marketeers article
Dilema Marketing: Follow The Money Atau Follow The Trend? (FOTO:123RF)

Para pemasar dihadapkan kepada keputusan dilematis. Pemasar kini dituntut merombak langkah-langkah pemasaran yang lebih interaktif dan kreatif demi menarik generasi Z atau Gen Z atau kerap disebut follow the trend

Sementara itu, di sisi lain para pengambil keputusan yang mayoritas adalah generasi baby boomer dan generasi X, yang kerap merasa asing mengenali metode pemasaran masa kini. Metode pemasaran yang efektif tentunya memanfaatkan modal seminim mungkin, dengan mendorong dampak, bahkan return semaksimal mungkin. 

Membidik Gen Z diakui jarang memberikan profit, namun tidak dapat dimungkiri, membidik generasi yang bakal menjadi pemegang keputusan kelak, perlu dilakukan. Saat ini, pemegang keputusan, the money spender, masih banyak dilakoni dari golongan baby boomer dan gen X. 

Membidik generasi ini diakui memberikan profit, sehingga kerap disebut follow the money. Sayangnya, membidik generasi X dan baby boomer juga diakui not cool, sehingga secara dampak, sasarannya tidak mampu mencakup generasi yang lebih luas. 

Dengan demikian, muncullah dilema dari dua mazhab, yakni follow the money atau follow the trend. Di satu sisi pemasar harus mampu meraup pangsa mayoritas yang merupakan Gen Z dan Alpha. 

Di satu sisi, membidik para money spender terbilang lebih menguntungkan, karena posisi dan jabatan mereka memungkinkan untuk menyetujui pengeluaran anggaran pembiayaan dan sebagainya. Iwan Setiawan, CEO Marketeers membagikan lima tips yang perlu dilakukan sebuah merek, dalam mengambil keputusan pemasaran, di tengah dilema yang kini banyak juga dilalui sebagian besar merek dan perusahaan.

BACA JUGA: Marketeers Youth Choice Award (YCA) 2023: Merek-Merek Pilihan Gen Z

“Yang pertama, ada satu istilah yang disebut sebagai KGOY, yaitu Kids Getting Older Younger. Mereka cenderung lebih tua lebih cepat dari seharusnya,” ujar Iwan dalam penghargaan Marketeers’ Youth Choice Awards 2023 di CGV FX Sudirman, Jumat (10/3/2023).

Iwan memaparkan ada tahapan yang umumnya dilalui setiap manusia, mulai dari Fundamental, Forefront, Fostering, dan tahapan terakhir yang mana manusia tinggal menikmati waktu yang tersisa. Tahapan ini disusun berdasarkan asumsi umur manusia hingga 80 tahun, dengan 20 tahun di setiap tahapannya. 

Dia menlai generasi Z dan Alpha kini melalui tahapan tersebut lebih cepat daripada umumnya. Ini terlihat dari fenomena banyaknya generasi baik Z dan Alpha, yang mengikuti kelas akselerasi atau menempuh pendidikan lebih cepat dari waktu formal. 

Fenomena ini menjadi bukti bahwa dalam tahapan Fundamental, generasi Z dan Alpha tak mau menunggu lama menempuh pendidikan sebelum bekerja. Ini yang juga terjadi di tahapan lain, dengan banyaknya fenomena resign dan membuat usaha sendiri menjadi pembuktian tahapan Forefront.

“Karena anak-anak muda zaman sekarang banyak yang berprestasi di usia yang jauh lebih muda, enggak perlu nunggu 40. Dia enggak perlu nunggu 30, di usia 20 tahun pun ada yang sudah berprestasi,” kata Iwan.

BACA JUGA: Perkuat Personal Branding, Perbesar Peluang Karier

Kedua adalah mendorong CX atau customer experience. Iwan menyoroti perusahaan pada masa lalu lebih banyak berfokus pada pengembangan produk. 

Pengembangan produk tentu meningkatkan minat beli dan cakupan pasar yang lebih luas. Namun, CX mampu meningkatkan value sebuah produk, sehingga menciptakan sebuah diferensiasi yang lebih melekat di pelanggan.

“Produknya mungkin sama, tapi kita kemas lewat customer experience yang berbeda. Cara menikmati produknya bisa beda, cara membeli produknya bisa beda. Buying experience dan user experience bisa kita buat sangat customise untuk segmen-segmen tertentu. Inilah yang saya sebut sebagai customer experience,” ucap Iwan.

Kemudian yang ketiga adalah Ask dan Advocate atau AA. AA merupakan bagian dari konsep 5A dalam pemasaran. 

Namun, bagian Ask dan Advocate menjadi lebih dominan dilakukan lintas generasi, karena sifatnya yang melibatkan interaksi sosial. Derasnya arus konten digital saat ini diakui Iwan menjadi pemicu alasan banyak orang lebih memilih bertanya kepada rekan kerja, teman, keluarga untuk mendapatkan rekomendasi tentang produk.

“Inilah karakteristik Gen Z yang sudah menular ke karakteristik generasi-generasi yang lain. Banyak sekali anak Gen Z sekarang tidak punya personal preference produk mana yang dia pilih. Mereka terlalu banyak dibombardir dengan konten sehingga tidak bisa menyerap semua informasi yang Bapak-Ibu kalian sampaikan melalui iklan,” ujarnya.

Ada juga Phygital, atau istilah dari kombinasi antara physical dan digital. Ini adalah konvergensi antara dunia tradisional yang fisik dengan dunia yang digital. 

Kombinasi ini menghadirkan dua jenis teknik pemasaran yang disebut webrooming dan showrooming. Iwan mencontohkan konsep webrooming ini sudah banyak terjadi di industri otomotif. 

Era kini, hampir tidak ada konsumen yang mengandalkan salesperson di showroom untuk menjelaskan product knowledge. Konsumen cenderung mencari tahu sendiri lewat informasi yang diperoleh secara daring, kemudian datang ke diler untuk melakukan pembelian atau uji kemudi.

Sementara itu, konsep showrooming sudah banyak diadaptasi industri fesyen. Konsumen kini tidak datang ke gerai fesyen untuk mencoba dan membeli produknya langsung. 

Banyak yang datang ke gerai fesyen untuk menjajal busana semata, sembari mencari kecocokan ukuran dan gaya konsumen. Kemudian, pembelian dilakukan secara online.

Terakhir adalah Keep it Real. Artinya, merek perlu menjaga fokus kepada segmen pasar yang benar-benar menyukai, simpatik, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan merek. 

Merek tak perlu mengincar semua segmen pasar, menyenangkan semua mulut dan mata, hanya untuk dikenal lebih luas dan lebih baik. Layaknya Starbucks dan McDonald, dua merek ini menjadi dua merek yang diakui sebagai The Truly Global Brand, karena jumlah waralabanya yang mencakup hampir seluruh pelosok bumi. 

Meski demikian, bukan berarti dua merek ini menjadi merek kesayangan seluruh umat manusia. Riset yang dipaparkan Iwan menunjukkan kedua merek memiliki indeks kesukaan atau promoters dan ketidaksukaan atau detractors terhadap masing-masing merek. 

Nilai indeks keduanya masing-masing hampir mirip. Jika mengacu pada rumus net promoter score (NPS), Starbucks memiliki nilai NPS sebanyak 7%, sementara McDonald memiliki NPS 4%.

Menurut Iwan, secara teori, dua merek besar ini harusnya sudah bangkrut, lantaran skor NPS yang tergolong kecil. Namun, seolah membangkang teori, kedua merek malah bertumbuh menjadi merek global yang diakui hingga kini. 

Ini menjadi bukti, bahwa menjadi merek yang disukai dan juga tidak disukai, adalah hal yang real. Mereka yang suka dan tidak suka akan selalu ada dan merek perlu menajamkan fokus kepada segmen yang penting.

“Karena mereka tidak mencoba menyenangkan semua orang. Mereka hanya fokus pada segmen yang suka terhadap mereka. Tidak rakus,” ucap Iwan.

 Editor: Ranto Rajagukguk

Related