Jelang KTT ASEAN, Ekonom Dorong RI Perkuat Mata Uang Lokal di Kawasan

marketeers article
currency exchange rate on digital LED display board

Indonesia diminta untuk memperkuat penggunaan mata uang lokal dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Summit ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Langkah tersebut dilakukan agar menjaga kondisi stabilisasi keuangan di kawasan Asia Tenggara.

Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) menjelaskan KTT ASEAN Summit merupakan momentum negara-negara di kawasan untuk memperluas kerja sama penggunaan mata uang lokal atau Local Currency Transaction (LCT). Dia berpendapat LCT dapat memberikan dampak positif yang bersifat jangka panjang terhadap stabilitas mata uang bila terimplementasikan dengan baik.

BACA JUGA: KTT ASEAN Summit 2023 Dorong Perputaran Ekonomi hingga Rp 5 Triliun

Hal itu lantaran bisa mengurangi ketergantungan negara terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Artinya, negara-negara yang terlibat dalam kerja sama LCT bisa menghindari risiko dari fluktuasi dolar AS.

Bhima juga menilai inisiatif LCT merupakan opsi terbaik yang bisa dilakukan untuk memperkuat kerja sama keuangan di kawasan saat ini. “Saya kira itu yang paling rasional sebelum menggagas mata uang bersama di ASEAN, misalnya. Jadi, lebih baik fokus dulu pada pemanfaatan mata uang lokal,” kata Bhima melalui keterangannya, Jumat (5/5/2023).

BACA JUGA: ASEAN+3 Buka Peluang Tinggalkan Dolar dalam Transaksi Perdagangan

Bhima merekomendasikan pemerintah untuk memberikan insentif kepada eksportir dan importir sebagai pelaku utama dalam transaksi perdagangan kawasan. Pasalnya, dia melihat penyerapan mata uang lokal di kalangan eksportir dan importir terbilang masih rendah.

Misalnya, dalam transaksi perdagangan antara Thailand dan Indonesia, porsi penyerapan penggunaan mata uang lokal masih berada di kisaran 4%. Hal itu menunjukkan perdagangan logistik masih lebih banyak yang mengandalkan pembayaran dengan menggunakan mata uang non-lokal, seperti dolar dan euro. 

Padahal, potensi ekspor-impor antara Indonesia dengan Thailand cukup besar.

“Perlu kesiapan dari sisi perbankan untuk lebih banyak menyerap mata uang, seperti ringgit atau won. Dengan begitu, eksportir dan importir bisa menggunakan mata uang lokal untuk bertransaksi,” ujarnya.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ekonom sekaligus Direktur Center of Reform of Economics (CORE) Piter Abdullah yang menilai jika inisiatif penggunaan mata uang lokal bisa membuat Indonesia menerima apresiasi positif dari negara-negara ASEAN. LCT menjadi langkah yang sangat baik dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar AS. 

Dia juga optimistis penerapan LCT di kawasan ASEAN akan makin membesar dan meluas. Bila makin banyak negara yang bersepakat melakukan LCT, lanjut Piter, maka manfaat LCT akan makin besar, terutama dalam hal transaksi perdagangan dan ketergantungan terhadap dolar AS. 

Meski begitu, implementasi LCT diakuinya masih membutuhkan dukungan tambahan. Sebab, salah satu aspek penting dalam transaksi perdagangan adalah penawaran dan permintaan serta rantai pasok global.

“Saya kira inisiatif Indonesia mengajak banyak negara melakukan LCT sudah diapresiasi positif oleh negara-negara ASEAN,” kata Piter.

Piter berpendapat penerapan LCT akan lebih optimal bila didukung dengan strategi pemenuhan kebutuhan rantai pasok global. Dia optimistis dampak positif LCT akan meluas dan dapat dirasakan oleh negara-negara yang terlibat dalam kerja sama tersebut.

Apalagi, LCT merupakan salah satu kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+3 untuk memperkuat kerja sama keuangan di kawasan. Negara-negara ASEAN+3 mencakup 10 negara Asia Tenggara beserta China, Jepang, dan Korea.

Saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama LCT dengan lima negara, yakni Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan. Indonesia berencana pula mengoptimalkan momentum Keketuaan ASEAN 2023 untuk terus mendorong negara-negara ASEAN mengintegrasikan sektor perekonomian.

“Pemanfaatan LCT baru bisa maksimal apabila LCT melibatkan banyak negara dan terkait dengan rantai pasok global, sementara kebutuhan impor negara-negara, yang masih banyak dari Eropa dan Amerika yang membutuhkan euro dan dolar, maka pemanfaatan LCT masih akan terbatas,” tutur Piter.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related