Genjot Kinerja Tim Sales Tanpa Iming-iming Uang, Bisa?

marketeers article
kinerja-tim-sales

Banyak yang berpendapat bahwa uang adalah segalanya. Lihat saja di kehidupan sehari-hari, apa yang memotivasi tukang parkir, buruh, pegawai restoran, pegawai negeri, hingga direktur untuk bekerja? Jawabannya pasti karena untuk mendapatkan uang.

Tak jarang, insentif yang umum dipakai perusahaan untuk memotivasi kinerja karyawan adalah dengan memberikan insentif yang bersifat finansial. Rumusnya jelas: jika Anda bekerja lebih keras, perusahaan akan memberi Anda uang lebih banyak. Bukankah ini lumrah di dunia yang mengunggulkan kapitalisme seperti sekarang?

Tapi, benarkah uang adalah segalanya untuk mendongkrak performa kinerja sebuah tim penjualan? Seorang penulis buku berjudul “DRIVE, The Suprising Truth About What Motivates Us” Daniel H. Pink menyatakan dengan tegas: tidak! Ia menyatakan ada yang jauh lebih penting ketimbang uang sebagai sarana memotivasi tim.

Gagasan Pink bukan tanpa dasar. Sebelum ia menyatakan ada hal yang lebih penting dari uang, ia menyitir kisah penelitian seorang psikolog kondang Karl Duncker pada tahun 1945. Duncker mengajak orang masuk ke ruangan. Di sana, orang itu diberi sebuah lilin, beberapa paku payung, dan korek api. Duncker menyuruh mereka menempelkan lilin ke tembok dan menyalakannya tanpa ada tetesan lilin yang jatuh ke lantai. Apa yang terjadi?

Orang itu mulai memaku lilinnya dan tak berhasil. Lalu, orang itu menyalakan korek, memanasi bagian samping lilin, menempelkan ke tembok, dan ternyata tetap tak berhasil. Berkali-kali berupaya, orang itu tak berhasil juga. Duncker mengatakan jawabannya ada pada wadah korek api. Mereka lupa kalau wadah korek api itu bisa digunakan sebagai penyangga. Pikiran mereka terperangkap pada fungsi standar dari wadah sebagai penampung korek api atau paku-paku. Pink menyebut orang harus bisa melampaui apa yang dinamakan “ketetapan fungsi”.

Teka-teki lilin itu kemudian dipraktikan oleh ilmuwan Sam Glucksberg. Glucksberg mengujinya pada dua kelompok. Satu kelompok diberi iming-iming insentif bila berhasil memecahkan teka-teki itu lebih cepat.

Hasilnya? Kelompok yang diberi iming-iming tersebut memecahkannya tiga setengah menit lebih lama ketimbang kelompok pertama. Eksperimen ini tak hanya dilakukan sekali tapi berkali-kali dengan hasil yang sama.

“Mengejutkan memang. Sebagai orang Amerika penganut pasar bebas, bukan itu yang seharusnya terjadi. Harusnya yang diberi imbalan akan bekerja lebih baik. Tapi, tak terjadi di sini. Saat pemberian insentif yang ditujukan untuk mempertajam pikiran dan mempercepat kreativitas, justru realitas mengatakan sebaliknya. Insentif bisa menumpulkan pikiran dan menghambat kreativitas” ujar Pink.

Uang Bukan Motivator Andal Untuk Kinerja Tim Sales

Menurut Pink, insentif – khususnya uang – justru bisa mempersempit fokus orang dan membatasi peluang-peluang kreatif yang bisa diraih. Gagasan ini seolah mengoreksi logika lama dari reward and punishment. Yang berprestasi akan diganjar dengan hadiah, yang tidak akan mendapat “hukuman” setimpal.

Hal ini juga diperkuat oleh tim peneliti dari Fakultas Ekonomi LSE (London School of Economics) yang menerapkan sistem bonus atas prestasi di berbagai perusahaan. Kesimpulan dari kampus yang telah melahirkan belasan penerima Nobel di bidang ekonomi tersebut jelas: “Kami menemukan bahwa insentif keuangan bisa memberi dampak negatif pada kinerja secara umum!”

“Memikat orang dengan permen yang lebih manis atau mengancam orang dengan cambuk yang lebih besar ternyata tidaklah efektif. Kita memerlukan pendekatan yang sama sekali baru,” kata Pink.

Pendekatan seperti apa? Dalam bukunya, Pink menyebutkan SDT atau Self-Determination Theory, apa itu? Simak di tulisan selanjutnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related