Mampukah Streaming Musik Menghapus Pembajakan?

marketeers article
64906960 music player streaming watermelon orange concept

Dulu, mungkin orang tua kita mendengarkan musik lewat piringan hitam. Beberapa dasawarsa kemudian, kehadiran tape sebagai kebutuhan kedua setelah televisi membuat penjualan kaset tumbuh fantastis. Memasuki tahun 2000an, CD menjadi kepingan yang laris manis di pasaran.

Namun, semua runtuh akibat kehadiran internet yang membuat seseorang mengonsumsi musik secara digital. Dalam lima tahun terakhir, platform music streaming pun bermunculan, sebut saja iTunes dari Apple, YouTube, Spotify, Rdio, Pandora, dan JOOX milik Tencent.

Meski cara mengonsumsi musik telah mengalami beberapa kali perubahan dari zaman ke zaman, tetap saja, pembajakan di Indonesia tak pernah surut. Bahkan, angkanya terus meningkat saban tahun.

Hal tersebut diakui Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASRI) yang menyebut dalam setahun ada 2,8 miliar lagu yang diunduh seara ilegal di Indonesia lewat internet. Jika satu lagu dihargai Rp 5.000, maka nilai pasar indusri musik yang hilang sebesar Rp 14 triliun.

“Angka tersebut akan semakin besar jika pemerintah tak mengerem laju pembajakan di negeri ini,” ucap Ventha Lesmana, General Manager ASRI dalam siaran pers Satu Tahun JOOX di The Foundry 8, Jakarta, Rabu, (30/11/2016).

Ventha menjelaskan, ASRI bersama Kementerian Komunikasi & Informatika (Keminfo) telah bekerja sama memblokir situs-situs yang mengunggah musik-musik secara gratis, tanpa seizin musisi dan pemilik label. Tahun lalu, ada 22 situs musik yang diblokir, di antaranya laguhits.com, arenalagu.com, dan stafaband.com.

“Anehnya, setelah diblokir, mereka tak kunjung jera. Mereka membuat situs baru dengan nama yang mirip-mirip,” ujarnya.

Karenanya, ASRI tahun depan akan mempidanakan oknum-oknum yang masih bandel menyebar konten musik secara ilegal. Pihaknya tengah mencari bukti untuk diajukan sebagai bahan penyelidikan kepolisian.

“Tahun 2017, target kami, situs-situs ilegal itu sudah lenyap. Dan ada orang-orang yang di penjara sehingga memberkan efek jera,” tegasnya,

Saat ini, ASRI memiliki anggota 72 label lokal, dan tiga label internasional antara lain Sony Music, Warner, dan Universal Studios. Jumlah keanggotaan ASRI menurun jika dibandingkan tahun 1978 yang berjumlah 120 anggota. Setidaknya, 80% market size ASRI dikuasai oleh para label yang menjadi anggotanya.

Label-label yang tutup itu terjadi karena mereka tak sanggup bertahan di tengah digitalisasi musik dan pembajakan yang masih marak dilakukan. Pasalnya, masih banyak label yang bertumpu pada penjualan kepingan CD.

“Setiap hasil karya yang dibeli itu dibagi ke tiga pihak, artis, perusahaan rekaman, dan pencipta lagu. Jadi, jika pendapatannya sudah kecil, mau dibagi tiga akan rugi,” tutur ventha.

Karenanya, saat ini, banyak label yang lebih memilih mengeluarkan single terlebih dahulu. Jika respons konsumen tinggi, ia baru meluncurkan versi albumnya. Akan tetapi, dalam menggarap album, label kini bekerja sama dengan jaringan kedai ayam (baca: KFC), maupun jaringan minimarket seperti Indomaret dan Alfamart.

“Tapi kan mereka itu deal-nya secara man-to-man atau personal. Jadi, tidak bisa meningkatkan industri musik secara keseluruhan,” ungkapnya.

Lagipula, sambungnya, KFC maupun minimarket bukanlah kanal yang fokus berjualan konten musik. Ia hanya mem-bundling produk mereka dengan musik.

RBT Penyelamat

Diakui Ventha, masa-masa keemasan label terjadi pada tahun 1996, yang mana penjualan kaset mencapai level tertinggi alias 77 juta keping di seluruh Indonesia. Saat itu, penjualan CD baru mencapai satu juta keping.

Akan tetapi, makin tahun, penjualan kaset kian menurun. Tahun 1998 menjadi 64 juta keping, lalu tahun 2005 menjadi 25 juta keping, dan pada tahun 2015 menurun tajam hingga 5 juta keping. Jumlah ini cukup timpang apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa.

Tahun 2005, ring back tone atau RBT muncul sebagai “penyelamat” industri musik di Indonesia. Nada dering yang diperdedangkan saat seseorang menelepon itu, kata Ventha, memberikan kontribusi Rp 194 miliar bagi label pada tahun 2015.

Hingga semester pertama tahun ini, RBT telah memberikan kontribusi sebesar Rp 91 miliar, dan diprediksi meningkat hingga Rp 180 miliar sampai dengan akhir tahun.

Walau menjadi yang terbesar, jumlah raihan yang diperoleh perusahaan rekaman dari RBT menurun sejak tahun 2011 yang disebut ASRI sebagai Black October (Oktober Hitam). Saat itu, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) meriset ulang semua pelanggan (subscriber) RBT dari yang jumlahnya 30 juta orang, menjadi nol.

“Jika dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah penjualan RBT masih lebih kecil. Saat ini, ada tiga juta subscribers RBT. Kendati demikian, RBT masih yang terbesar sampai saat ini,” ucapnya.

Kontributor kedua dicetak oleh full track downloaded yang tahun lalu mencetak pendapatan Rp 29 miliar. Hingga tengah tahun telah tembus Rp 13 miliar.

Dan kontributor selanjutnya yaitu layanan musik streaming yang berhasil membukukan pendapatan Rp 14 miliar pada semester pertama 2016. Jumlah ini sama dengan torehan tahun 2015. “Artinya, tahun ini, streaming tumbuh dua kali lipat. Dan ini pasar potensial bagi label,” ucap Ventha.

Dia menambahkan, potensi pasar yang bisa diraih musik streaming seharusnya bisa menembus torehan RBT. Ini terjadi apabila jumlah pengguna semakin meningkat, serta pengguna tersebut beralih menjadi pelanggan tetap yang membayar setiap bulan.

Musik Streaming, Harapan Baru

Benny Ho, Senior Manager Tencent, perusahaan yang membawa layanan online musik streaming JOOX mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan para label untuk sama-sama memberantas pembajakan, sekaligus meningkatkan market size industri musik di Indonesia.

Meksi tak menyebut berapa rupiah yang diberikan perusahaannya kepada para label, namun ia bilang kerja sama antara label dan JOOX cukup menguntungkan. “Kami ingin menjadikan platform kami itu legal, dapat diakses semua orang, dan nyaman,” ucapnya di lokasi yang sama.

2-3
Benny Ho, Senior Manager Tencent

Setahun keberadaannya di Indonesia, JOOX telah menjadi pemimpin pasar di kategori musik streaming, mengungguli rivalnya, MusixMatch, SoundCloud, Langitmusik, dan Spotify.

Tak hanya di Indonesia, laporan yang dirilis konsultan McKinsey itu menyebut, JOOX menjadi platform streaming musik yang paling banyak diunduh di tiga negara lainnya, yaitu Hong Kong, Malaysia, dan Thailand.

Model bisnis yang ditawarkan JOOX adalah freemium, atau memberikan layanan dasar secara gratis, namun jika ingin memperoleh fitur khusus, konsumen harus berlangganan dengan biaya yang telah ditentukan.

Selain memperoleh pendapatan dari para subscribers, JOOX juga mendapatkan pundi-pundi uang dari para brand yang beriklan di platform-nya.

Logikanya, semakin banyak orang yang mengunduh JOOX, semakin besar peluang menggandeng pengiklan. Dan tentu saja, semakin banyak konsumen yang beralih menjadi subscribers.

“Dengan demikian, kami bisa memberikan kontribusi kepada industri musik, baik para musisi, perusahaan rekaman, dan pencipta lagu,” kata Benny.

Ia melanjutkan, “Fokus kami saat ini adalah menggandeng sebanyak mungkin musisi untuk berpartner dengan kami, serta mengajak konsumen untuk mendengarkan musik lewat plaform kami, karena itu legal,” tegas pria asal Tiongkok ini.

Meski menolak menyebut jumlah pengunduh JOOX di Indonesia, namun berdasarkan artikel yang ditulis South China Morning Post, jumlah pengunduh JOOX mencapai 50 juta kali tahun lalu, atau menguasai 50% dari total aplikasi musik yang diunduh di Hong Kong, Thailand, Malaysia, dan juga Indonesia.

“Kami terus berinovasi, mencoba mengerti pasar Indonesia dan menawarkan konten-konten lokal. Saat ini, rata-rata orang Indonesia menikmati musik di JOOX selama 72 menit per hari,” terang Benny.

Editor: Sigit Kurniawan

Related