Marketing Hack: 4 Alat Jalan Pintas untuk Membaca Selera Konsumen

marketeers article
Ilustrasi tools pembaca selera konsumen (Sumber: 123RF)

Langkah pertama untuk mengerahkan strategi pemasaran adalah berusaha mengerti karakter dan membaca selera konsumen. Sayangnya, konsumen itu tidak mudah untuk dimengerti. 

Tak ayal, banyak perusahaan yang menggelontorkan miliaran rupiah untuk melakukan riset demi dapat membaca selera konsumen. Sayangnya, otak manusia ini kompleks yang terkadang sulit digali dengan pertanyaan dari sebuah survei hingga membuat hasil survei kian kurang akurat. 

“Penting bagi pemasar untuk tahu konsumen tertarik sama apa, memproses informasi seperti apa ketika kita paparkan iklan, bagian mana yang mereka suka dan tidak. Lalu dalam membuat keputusannya seperti apa? Sayangnya, riset seringkali tidak bisa memecahkan persoalan ini karena ada beberapa hal di dalam kehidupan kita yang tidak dapat diartikulasikan karena proses di dalam otak kita sangat kompleks,” ujar Behavioral Marketing Practictioner Ignatius Untung dalam program Market Think di YouTube Channel Marketeers TV.

Paparnya, otak kita ketika suka dengan sesuatu biasanya disebabkan oleh banyak hal. Di sini, ada proses koleksi. Keputusan pembelian pun disebabkan oleh banyak faktor, diproses di otak pun terjadi di dua tempat, secara sadar dan bawah sadar yang seringkali tidak bisa kita sebut. 

“Sayangnya, banyak hal yang diproses di otak bawah sadar konsumen sehingga pemasar tidak bisa masuk,” lanjut Untung. 

Bagaimana sebuah produk bisa diartikulasi?

Bisa tidaknya sebuah produk bisa diartikulasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, tipe produk. Apakah produknya high involvement atau tidak. Ketika tinggi keterlibatannya, cenderung bisa diartikulate karena lumayan terlihat dan diingat. 

Kedua, tipe buying. Ada konsumen yang membeli secara habitual yang rutin atau impulse yang umumnya terdorong. Buying purchase ini adalah sebuah journey. Ketiga, buying goal. Semakin konsumen memiliki buying goal yang spesifik, semakin mudah diartikulasi.

Meski sudah bisa diartikulasikan dan pemasar kian dekat dalam upaya membaca selera konsumen, sayangnya otak manusia punya kebiasaan untuk merasionalisasi sesuatu dan mungkin saja konsumen berbohong dengan tidak sengaja. 

Kabar baiknya, ada satu peluang untuk mengerti konsumen -meski tidak seutuhnya- namun ada tools yang dapat digunakan, yakni biometric tools. Dengan tools-tools ini, Untung percaya kita bisa lebih dekat lagi dalam mengerti konsumen. 

Solusinya adalah biometric tools

Contoh dari biometric tools yang sering kita jumpai adalah lie detector yang sering dipakai di film-film. Biometric tools ini beragam bentuknya. Mulai dari yang paling mahal dan tidak banyak orang yang punya adalah Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI). Alat ini biasanya ada di rumah sakit untuk merekam aktivitas otak. Teknologi ini pernah dipakai di kampanye Pepsi Challenge. 

FMRI (Sumber: https://psychcentral.com/)

Lalu electroencephalogram (EEG) yang bekerja untuk merekam gelombang otak dengan menempelkan alatnya ke kulit kepala. Ketiga, Galvanic Skin Response (GSR) untuk mendeteksi aktivitas di pori-pori kulit namun hasilnya tidak terlalu akurat. 

“Keempat yang sering dipakai dan saya pun pakai adalah eye tracker. Alat ini untuk mendeteksi ke mana pupil mata itu bergerak. Ketika mata bergerak ke suatu objek, artinya orang itu tertarik terhadap objek tersebut. ketika ia melihatnya dalam jangka waktu yang lama, berarti ia sangat tertarik,” jelas Untung. 

Eye tracker ini ada tiga bentuk, yakni desktop untuk melihat stimulus di layar laptop atau pc.

desktop eye tracker (Sumber: 123RF)

Lalu wearable berbentuk kaca mata yang biasanya digunakan untuk melihat rak supermarket.

Wearable eye tracker (Sumber: 123RF)

Ketiga, eye tracker yang berbentuk aplikasi berbasis artificial intelligence (AI). Cara kerjanya, dia mengambil dari ribuan sampel visual dan dijadikan satu modul untuk melakukan deteksi. Alat ini bisa digunakan untuk mendeteksi dari sekian komposisi visual atau iklan dan melihat konsumen melihatnya ke mana. 

“Menariknya, dari ribuan image, ada pattern yang bisa saya simpulkan. Yakni, kontras. teks, penggunaan wajah orang, dan foto orang itu lebih menarik dibanding gambar ilustrasi. Lalu objek yang terisolasi juga lebih menarik perhatian mata. Intinya, eye tracker ini cukup membantu untuk mengerti konsumen yang begitu komplek dan sulit ditanya dengan survei biasa. Meski tidak akurat 100% namun sangat membantu,” tutup Untung. 

Selengkapnya, saksikan video Ignatius Untung dalam program Market Think, berikut:

Related