Mengenal Penerapan Behavioral Science dalam Bisnis Penerbangan

marketeers article
behavioral science dalam bisnis penerbangan | sumber: 123rf

Bisnis penerbangan menjadi salah satu bisnis paling lama beroperasi di dunia dengan penerbangan pertama kali dilakukan pada tahun 1914. Industri ini juga dianggap lamban dalam melakukan adaptasi perubahan, salah satunya karena highly regulated. 

Perubahan ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh ilmu behavioral science dan Ignatius Untung sebagai Praktisi Marketing dan Behavioral Science mengemukakan pemikirannya melalui program Market Think di kanal Youtube Marketeers TV.

Zaman dulu, ketika kita akan membeli tiket pesawat tidak bisa dibeli secara online, harus beli langsung di kantor travel agent dan tiketnya berbentuk kertas. Ketika butuh dan ingin reschedule jadwal, maka aturannya akan sulit sekali.

Meski demikian, sejak dulu bisnis penerbangan telah banyak mengadopsi prinsip-prinsip behavioral science, salah satunya adalah business class yang segmennya tidak massal, tapi menguntungkan.

Dari segi harga, tiket business class tiga kali tiket ekonomi. Untuk satu penumpang business class, mereka menggunakan tiga kursi penumpang kelas ekonomi. Pemain bisnis penerbangan mengerti sekali bagaimana cara menjual business class tersebut.

Business class menawarkan kenyamanan, kursi yang empuk dan lega, makanan mewah yang disajikan dengan piring, welcome drink, convenience kit yang lengkap, mulai dari lotion, sikat gigi, pasta gigi, penutup kuping dan mata, hingga piama. 

BACA JUGA: Pelajari 6 Strategi Department Store dalam Pengaruhi Perilaku Konsumen

Tak hanya itu, boarding dan keluar pesawat akan lebih dulu kelas bisnis, antrean imigrasi yang pendek, tas keluar lebih dulu sekaligus dibawakan oleh petugas. Namun sebetulnya bukan kenyamanan yang menjadi kunci, tetapi pride dan esteem yang dibeli.

Untung menyebut bahwa hal ini sejalan dengan teori piramida kebutuhan Maslow di mana puncak piramida adalah kebutuhan yang ingin bisa dikejar setelah kebutuhan mendasar dapat terpenuhi.

“Kenyamanan business class ini bisa dilihat dari dua angle, level fisiologis dan security,” ujar Untung.

Bagi orang yang punya banyak uang, mereka tidak akan lagi memikirkan ngantuk karena tidak bisa tidur selama delapan jam di atas pesawat. Dengan membayar tiga kali lipat, mereka sudah bisa makan enak dan tidur nyaman tanpa gangguan.

Selain itu, mereka juga memang membeli esteem dan self-actualization dalam piramida Maslow. Perasaan bangga akan muncul ketika orang merasa diprioritaskan, boarding lebih dahulu, tanpa repot antre saat boarding. 

Hal kedua yang dilihat dari bisnis penerbangan setelah business class adalah scarcity. Ketika kita akan terbang dengan jadwal yang telah pasti, maka orang akan membeli tiket lebih dulu atau jauh hari agar bisa mendapatkan harga murah.

Kondisi ini terjadi tidak dikarenakan hanya karena supply dan demand saja. Ketika berfokus pada hal tersebut, maka ketika sudah mendekati batas waktu namun kursi belum terjual, seharusnya pesawat menjual murah. Supply lebih besar dari demand.

Nyatanya tidak untuk di bisnis penerbangan. Ketika sudah last minute namun belum ada yang membeli, pesawat tidak akan jual murah, tetap konsisten dengan harga tinggi. 

Dalam kondisi ini ada pro dan kontra di mana kontranya adalah potential lost, namun pro-nya adalah value dari kursi tersebut tidak digadaikan untuk sekadar keuntungan jangka pendek saja.

BACA JUGA: Rahasia Sukses di Balik Bisnis Restoran, Bukan Cuma Soal Rasa!

Hal ketiga yang menarik dari bisnis penerbangan adalah safety demos di setiap pesawat akan lepas landas. “Orang tidak perhatikan sesuatu yang berulang, termasuk safety demonstration dari pramugari. Mereka bikin dengan cara yang lebih menarik untuk membuat orang ingin melihat, bahkan memviralkan,” jelas Untung.

What’s Next?

Tiga hal di atas adalah sesuatu yang telah sukses dilakukan oleh bisnis penerbangan. Lalu, apa yang bisa dilakukan ke depannya?

Pertama, fleksibilitas dalam reschedule opsi penerbangan penting untuk menjadi perhatian bagi pelaku bisnis penerbangan. Kuncinya adalah untuk meningkatkan user experience dan tidak akan menjadi masalah meski harus membebankan biaya yang lebih mahal karena peminatnya ada.

Dengan begitu, reschedule flight akan bisa dilakukan oleh pengguna semudah melakukan booking jadwal penerbangan, sehingga bisa menjadi bargaining power yang baik. 

Kedua, menjual kursi kosong kepada pembeli tiket yang ingin mendapatkan kenyamanan lebih dengan tambahan biaya yang tidak terlalu besar. Hal ini mungkin menjadi menarik bagi sebagian orang yang ingin nyaman dalam perjalanan jauh, namun tidak bisa membeli kursi business class.

Ketiga, menjual kursi business class yang masih kosong kepada penumpang yang sudah terlanjur membeli kursi ekonomi dengan harga yang lebih murah. Hal ini menjadi menarik bagi beberapa segmen penumpang.

Bahkan, layanan ini bisa menjadi surprise service kepada pelanggan-pelanggan tertentu yang required, memiliki daya beli yang baik. Layanan ini bisa menjadi cara untuk mendorong orang bisa mencoba kenyamanan dari business class, sehingga ketika sudah merasa puas atas layanan tersebut, suatu saat mereka akan berpotensi untuk membeli business class. 

Konsep ini sama seperti test drive pada otomotif di mana experience yang tangible akan begitu diingat sebagai memori dan pengalaman baik yang ingin dirasakan kembali di lain waktu.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

BACA JUGA: Ternyata Begini Desain Customer Experience di Supermarket!

Related