Setiap 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan Raden Ajeng Kartini. Ia adalah tokoh emansipasi perempuan yang dikenal karena pemikirannya yang progresif.
Namun, di balik gagasan-gagasan besarnya, kisah hidup Kartini menyimpan tragedi. Ia wafat pada usia yang terbilang muda, yakni 25 tahun, hanya empat hari usai melahirkan putra pertamanya, Raden Mas Soesalit.
Dokter Van Ravesteijn, yang datang dari Pati untuk membantu persalinan Kartini, menggunakan alat bantu yang tak jelas fungsinya. Meski sempat dinyatakan sehat, ia kemudian mengalami keluhan perut tegang dan meninggal 30 menit setelah diberikan obat oleh dokter yang sama.
Riwayat kematian Kartini pun sempat menimbulkan berbagai spekulasi. Sebagian pihak menduga ada permainan politik Belanda untuk membungkam suara Kartini melalui racun, sebagaimana disampaikan dalam buku Kartini Mati Dibunuh karya Efatino Febriana.
Namun, jika ditilik dari sisi medis, banyak ahli dan peneliti yang meyakini bahwa Kartini meninggal akibat komplikasi preeklampsia pascapersalinan. Kondisi tersebut hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu di Indonesia.
BACA JUGA: Lawan Rasa Cemas Jelang Ujian dengan 5 Tips dari Psikiater Ini
Lantas, sebenarnya apa itu preeklampsia? Berikut penjelasannya yang dilansir dari laman Ikatan Dokter Indonesia (IDI):
Apa Itu Preeklampsia?
Preeklampsia adalah gangguan kehamilan serius yang biasanya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Kondisi ini ditandai dengan hipertensi (tekanan darah tinggi) dan adanya gangguan pada organ tubuh lain, seperti ginjal, hati, dan sistem saraf pusat.
Preeklampsia sendiri terjadi akibat disfungsi plasenta dan inflamasi sistemik yang menyebabkan aktivasi endotel dan koagulasi dalam tubuh ibu. Jika tak ditangani dengan tepat, kondisi ini bisa berujung pada komplikasi serius, termasuk kerusakan organ hingga kematian ibu dan bayi.
Salah satu gejala paling umum dari preeklampsia ialah tekanan darah tinggi yang terjadi secara konsisten. Selain itu, penderita juga bisa mengalami pembengkakan pada tangan dan wajah akibat retensi cairan.
Ginjal yang terganggu pun bakal mengeluarkan protein dalam urine, yang dikenal dengan istilah proteinuria. Gejala lainnya meliputi sakit kepala hebat, gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, nyeri di bagian atas perut, serta gangguan fungsi hati.
BACA JUGA: Doom Spending Bukan Solusi untuk Atasi Stres, Ini Alternatifnya
Cara Mencegah Preeklampsia
Pencegahan preeklampsia dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pencegahan primer dan sekunder. Pada pencegahan primer, penting dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap faktor risiko yang dimiliki ibu hamil sejak dini.
Beberapa kondisi yang meningkatkan risiko preeklampsia, antara lain usia kehamilan di atas 40 tahun, riwayat preeklampsia sebelumnya, obesitas, hipertensi kronik, penyakit ginjal, diabetes, serta kehamilan dengan donor sperma atau embrio.
Adapun pada pencegahan sekunder, ibu hamil disarankan untuk beristirahat secara teratur, dan mengonsumsi aspirin dosis rendah (75 mg per hari) sebelum kehamilan mencapai usia 20 minggu. Disarankan pula untuk mendapatkan asupan kalsium minimal 1 gram per hari, terutama bagi mereka yang asupan kalsiumnya kurang.
Konsultasi rutin ke fasilitas kesehatan menjadi kunci untuk mendeteksi dan menangani kondisi ini sejak dini.
Editor: Ranto Rajagukguk