Nilai Ekonomi Biru RI Diproyeksikan Tembus US$ 30 Triliun

marketeers article
Menteri BPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. Sumber gambar: pers rilis.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BPN)/Bappenas memperkirakan nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru di Indonesia mencapai US$ 30 triliun atau setara Rp 465,3 triliun (kurs Rp 15.510 per US$) pada 2030. 

Adapun beberapa wilayah laut yang memiliki potensi ekonomi biru terbesar di antaranya Natuna, Selat Malaka, Teluk Cendrawasih, dan Selat Capalulu.

“Apabila potensi-potensi ini dioptimalkan, ekonomi biru dapat meningkatkan efektivitas dengan memberikan perlindungan habitat dan biodiversitas, 20% penurunan gas rumah kaca, menciptakan sekitar 12 juta lapangan kerja pada 2030 mendatang, serta keuntungan investasi laut berkelanjutan yang mencapai US$ 15,5 triliun,” kata Menteri BPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa melalui keterangannya, Selasa (19/12/2030).

BACA JUGA: Potensinya Besar, Luhut Sebut Kendala Pengembangan Ekonomi Maritim

Menurutnya, untuk mengatasi tantangan implementasi ekonomi biru di berbagai aspek pemerintah telah menyusun Indonesia Blue Economy Roadmap Edisi II. Tujuannya agar pengembangan ekonomi biru yang berkelanjutan dan inklusif, melalui empat pilar utama.

Pertama, mengamankan laut yang sehat, tangguh, dan produktif. Kedua, meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan.

BACA JUGA: Ada Potensi US$ 1,3 Triliun, Luhut Dorong Pembiayaan Ekonomi Kelautan

Ketiga, meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama. Terakhir, menciptakan lingkungan yang mendukung secara keseluruhan.

Meskipun nilainya diproyeksikan cukup besar, namun ada berbagai tantangan yang harus dihadapi pemerintah dalam mengoptimalkan ekonomi biru. Salah satunya yakni literasi maritim yang sangat rendah.

Hal ini pernah dikeluhkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves). Padahal, pada masa lalu Indonesia menjadi negara besar karena dapat mengembangkan potensi laut yang ada.

“Kita tahu rendahnya literasi maritim merupakan penghambat utama laju pembangunan kemaritiman yang dilaksanakan. Sebab itu, kita harus mendukung gerakan literasi maritim nasional untuk membangkitkan kembali kesadaran kolektif kita akan pentingnya pembangunan kemaritiman dan jati diri sebagai bangsa bahari,” ujarnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related