Offline Impulse Marketing, Dorong Impulse Buying pada Consumer Goods

marketeers article
impulse buying | Sumber: 123rf

Impulse buying adalah fenomena yang banyak terjadi saat konsumen hanya membutuhkan waktu dan langkah yang sangat pendek untuk memutuskan pembelian suatu barang. Umumnya, pembelian jenis tersebut tidak direncanakan dan memang diputuskan pada saat itu juga. 

Ketika pembeli mendapatkan discovery atau informasi produk hingga memutuskan untuk membeli, biasanya memiliki jarak yang sangat pendek. Fenomena impulse buying ini dijelaskan secara lengkap oleh CEO Marketeers, Iwan Setiawan, dalam program Analisis di kanal Youtube Marketeers TV.

Impulse buying adalah pembelian yang customer journey-nya sangat pendek. Jadi, antara see and buy itu jaraknya sangat berdekatan. Jadi selalu sifatnya spontan dan seringkali pembeliannya irasional,” kata Iwan.

Dalam banyak kasus, pembeli mungkin tidak terlalu membutuhkan barang tersebut, namun terdapat rasa ketertarikan yang sifatnya instan.

BACA JUGA: Push Marketing: Populerkan Produk Baru yang Ingin Dirilis ke Pasar

Dalam penjelasannya, Iwan Setiawan membagikan empat tipe customer journey pada kanal fisik atau offline untuk jenis produk consumer goods. Berikut penjelasan selengkapnya:

1. Pembelian produk rutin

Biasanya pembeli sudah merencanakan kategori produk dan brand yang ingin dibeli sebelum melakukan pembelian. Sebagai contoh produk kecap dengan brand “X” yang dibeli rutin setiap bulan atau ketika stok kecap sudah habis. 

Kemungkinan pembeli beralih brand akan sangat kecil. 

2. Pembelian produk komoditas

Pembeli sudah merencanakan untuk membeli kategori produk tertentu, namun belum memutuskan ingin membeli produk dari brand apa. Hal ini bisa dipengaruhi dari harga, diskon hingga promo. 

Sebagai contoh, kategori produk minyak goreng yang dibeli secara terencana namun membeli brand X karena harganya yang paling murah. Pembeli menganggap semua jenis minyak goreng sama saja. 

3. Pembelian produk sesekali

Pada tipe ini, pembeli tidak membeli produk secara rutin dan terencana. Produk tersebut dibeli ketika memang dibutuhkan saja. 

Namun, ketika pembeli ingin membelinya, pembeli sudah mengetahui brand apa yang ingin dibeli. Contoh jenis produk ini adalah minuman energi yang dibeli hanya ketika selesai berolahraga, namun pembeli sudah tahu akan membeli minuman energi merek “Z” yang memang dipercaya.

4. Pembelian produk spontan (impulse buying)

Produk ini dibeli tanpa perencanaan dan memilih brand dengan spontan karena ketertarikan. Hal ini mungkin terjadi ketika Anda sedang berkunjung ke pantai pada saat matahari terik. 

Anda tanpa berencana ingin membeli minuman segar untuk menyegarkan dahaga. Kemudian, Anda melihat minuman bersoda yang dijual oleh kedai pinggir pantai dan secara tiba-tiba tertarik pada minuman bersoda tersebut.

Anda membeli minuman bersoda tersebut hanya karena kebutuhan dan membeli minuman bersoda secara spontan dan impulsif. Inilah yang disebut impulse buying.

BACA JUGA: Belajar Marketing ‘Roasting’ dari Entertainment Company Bernama Karen’s Diner

Dengan melihat keempat tipe customer journey tersebut, ternyata dapat dilihat bahwa memang terdapat beberapa kategori yang bersifat impulsive. 

“Untuk kategori-kategori produk dan brand-brand yang bersifat impulsif dibelinya, biasanya teknik pemasarannya itu bergantung dengan point-of-sale atau titik dimana transaksi mungkin terjadi,” ujar Iwan.

Salah satu penerapan impulsive marketing adalah sales promotion girl (SPG) dan retail assistant yang membantu mempromosikan produk di depan pembeli, kasir, dan kanal distribusi. Tujuan dari impulsive marketing ini adalah untuk mencoba mendekatkan diri untuk melakukan pemasaran di titik atau momentum saat pembeli sedikit lagi akan membeli produk tersebut.

Hal ini berbeda dengan jenis produk yang masuk ke dalam kategori produk terencana. Umumnya, pemasaran yang dilakukan adalah above-the-line marketing dengan melakukan advertising dan komunikasi massal. 

Tujuannya untuk membuat merek tersebut dapat dikenal secara luas bahkan menjadi top-of-mind. 

“Sehingga brand-nya dikenal dan kemudian ketika orang ingin merencanakan membeli sebuah kategori produk atau merek, mereka teringat dengan merek yang menjadi top-of-mind mereka,” ucap Iwan Setiawan, CEO Marketeers. 

Dengan begitu, terdapat perbedaan strategi marketing untuk produk berjenis impulsif dan terencana. Berikut tiga cara yang bisa dilakukan untuk melakukan offline impulse marketing:

– Buat kemasan menarik dengan warna eye-catching yang membuat orang tertarik untuk mencoba produk.

– Cashier display menjadi tempat untuk produk bersifat impulse yang sering terlupakan, namun dapat mendorong ketertarikan untuk membeli produk tersebut

– Limited deals untuk mendorong pembeli membeli produk pada saat itu juga dalam durasi waktu tertentu. Dengan begitu, pembeli akan lebih terburu-buru untuk membeli dan melakukan impulse buying.

Demikianlah pembahasan mengenai fenomena impulse buying dan impulse marketing pada jenis produk consumer goods. Strategi offline impulse marketing ini tentu akan berbeda jika Anda ingin menggunakan kanal digital. 

Identifikasi terlebih dahulu jenis produk Anda dan rencanakan strategi impulse marketing yang cocok dengan karakteristik produk yang ingin Anda jual.

BACA JUGA: 5 Tips Mencegah Impulsive Buying, Hati-hati Jebakan Marketing Psikologis

Editor: Ranto Rajagukguk

Related