Pembeli Terpikat oleh Online Live Selling, Kok Bisa? Ini Alasannya!

marketeers article
online live selling | sumber: 123rf

Online live selling menjadi sebuah fenomena strategi penjualan yang semakin ramai belakangan ini. Penjual mempromosikan barangnya di media sosial atau marketplace dan kemudian ditonton oleh para audiens, bahkan hingga ribuan viewers. 

Para penjual mengaku bahwa omzet yang didapat cukup besar dan menguntungkan. Ignatius Untung, Praktisi Marketing dan Behavioral Science mengungkapkan alasan mengapa online live selling menjadi sangat potensial dan ramai dilakukan sebagai platform berjualan online

“Otak kita selalu berusaha menyuplai kita dengan berbagai macam alasan dari apapun yang mau kita dapatkan. Online live selling ini mendorong kita untuk membayangkan mengapa kita harus beli,” kata Untung dalam sebuah program Market Think pada kanal Youtube Marketeers TV.

Online live selling mendorong para penontonnya untuk membayangkan apa yang akan didapatkan jika membeli produk tersebut. Namun, perasaan ini sebetulnya hanya bersifat sementara. 

Perasaan berbinar yang sementara ini dapat diatasi dengan strategi ampuh yang biasa dilakukan oleh para penjual, yaitu menawarkan special offer dengan waktu yang terbatas. 

BACA JUGA: Offline Impulse Marketing, Dorong Impulse Buying pada Consumer Goods

Hal ini membuat penonton tidak memikirkan lebih jauh karena adanya keterbatasan waktu. Jika penonton sudah masuk dalam fase berpikir apakah membeli atau tidak, maka mereka bisa saja tidak jadi membelinya.

“Penawaran ini men-trigger emosional, create expectations dan dopaminnya keluar, sehingga membuat orang susah nolak. At the same time, executive brain kita yang tugasnya ngerem itu juga ambil bagian, jika emosionalnya ikut maka orang akan membeli. Secara psikologi seperti itu,” ujar Untung.

Sentuhan emosional ini yang dapat mendorong orang menjadi impulse buying. Emosional yang terbangun ini berkaitan dengan experience yang didapatkan saat hendak melakukan pembelian. 

Experience live online selling menjadi duplikasi dari experience belanja secara offline di toko online. Online live selling membuat penjual dan pembeli dapat berinteraksi secara langsung, realtime, dan personalisasi. 

Selain itu, penjual juga biasanya menerapkan scarcity marketing dengan penawaran terbatas, jumlah produk terbatas, dan diskon hanya selama live berlangsung. Online live selling juga dapat mendorong terjadinya social proof di kalangan pembeli. 

“Lingkungan sosial kita menavigasi kita untuk membeli atau tidak, ada rasa FOMO (fear of missing out), sehingga kita didorong untuk membeli agar tidak ketinggalan dan menekan perceived risk karena jika banyak yang beli berarti bagus,” ucap Untung.

BACA JUGA: Push Marketing: Populerkan Produk Baru yang Ingin Dirilis ke Pasar

Strategi lain adalah strategi utang budi yang melekat di masyarakat Indonesia. Biasanya calon pembeli akan bertanya banyak hal terkait produk kepada penjual sehingga penjual akan direpotkan dengan menjelaskan produk secara detail. 

Ketika pembeli sudah banyak bertanya dan merepotkan penjual dengan berbagai pertanyaan, maka akan muncul pernyataan “Apakah iya tidak membeli setelah bertanya-tanya banyak hal?”. Inilah yang disebut strategi utang budi. 

“Makanya, pedagang atau marketer yang pintar akan selalu ingin membantu walaupun direpotkan oleh customer-nya. Karena dengan direpotin, dia sedang membangun utang budi kepada pembeli,” ucap Untung.

Inilah yang membuat pembeli terjebak dalam impulse buying dan dopamine trap sebagai hormon ekspektasi. Dengan begitu, online live selling jelas memiliki potensi besar karena benar-benar dapat membangun euforia dan social pressure, sehingga orang terdorong untuk membeli. 

Namun, hal yang perlu diingat bagi para penjual atau marketer, Anda harus dapat menjaga kualitas produk yang dijual agar pembeli yang melakukan impulse buying tidak merasa menyesal dengan produk Anda. Jika mereka menyesal, maka akan merusak nama baik produk Anda tersebut.

BACA JUGA: Belajar Marketing ‘Roasting’ dari Entertainment Company Bernama Karen’s Diner

Editor: Ranto Rajagukguk

Related