Pengamat: TikTok Shop Ditutup, Harusnya Pemerintah Lakukan Uji Publik

marketeers article
Ignatius Untung sebut isu TikTok Shop perlu dikaji dalam uji publik | sumber: Marketeers/Fadhilah

Ignatius Untung, pengamat ekonomi digital menyayangkan keputusan pemerintah yang melarang social commerce, seperti TikTok Shop untuk bertransaksi secara langsung layaknya platform e-commerce. Kebijakan itu dinilai terburu-buru dan tidak dikaji secara mendalam. 

Dia menyatakan tidak ada dasar yang kuat mengenai operasional social commerce yang harus dipisah antara e-commerce dan media sosial.

“Pemisahan ini tidak ada dasarnya. Kalau masalah data, sudah terjadi sekarang pertukaran data lintas platform melalui digital marketing dan media sosial. Lalu, jika ini merugikan UMKM, nggak juga,” kata Untung saat ditemui di Seribu Rasa Gunawarman, Jumat (15/09/2023).

Untung juga menceritakan bagaimana kinerja usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) setelah adanya TikTok Shop. Pelaku UKM yang berhasil memanfaatkan TikTok Shop salah satunya mampu membuat pabrik atau konveksi sendiri akibat penjualan produk pakaian yang meningkat.

Dalam merespons Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 mengenai social commerce, Untung menyebutkan pentingnya untuk melakukan uji publik atau menggelar focus group discussion (FGD) dengan para pemangku kepentingan, seperti UKM.

BACA JUGA: Hati-Hati! TikTok Shop Jadi Ancaman bagi Marketplace Indonesia

“Uji publik ini harus dibikin terbuka, supaya fair, untuk melihat dampaknya seperti apa, berapa banyak, ada studinya. Seringkali peraturan dikeluarkan tapi studinya nggak cukup. Bukan berarti nggak boleh, tapi itu nggak dilakukan,” ucap Untung. 

Aturan ini juga disebut menanggapi nasib para UKM yang berjualan di Tanah Abang karena harus tutup akibat ramainya TikTok Shop sebagai social commerce yang sedang booming belakangan ini. Untung tak menampik isu tersebut karena kemungkinan besar pelanggan sudah pindah ke platform online

Namun, jika fenomena itu direspons dengan melarang kegiatan social commerce, sama saja tidak peka terhadap perkembangan digital yang begitu cepat.

“Kita nggak bisa menutup itu (social commerce), kita seperti melawan arus, ini perkembangan zaman yang terjadi, jika kita menentang maka suatu saat kita kalah,” ucap Untung.

Hal ini terjadi karena sebetulnya platform online memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik penjual dan pembeli. Inilah yang menyebabkan pasar offline menjadi sulit untuk bersaing.

“Karena pasar offline masih coba-coba dengan harga, digelembungin harganya baru tawar menawar, sedangkan online tidak seperti itu, tidak ada kesempatan tawar menawar, sudah kasih harga terbaiknya. Ini tidak merugikan penjual karena tidak mungkin mereka ingin menjual rugi. Jadi tidak merugikan salah satu pihak, justru menguntungkan kedua belah pihak,” tutur Untung.

BACA JUGA: Menilik Isu Predatory Pricing yang Melanda E-commerce, Benarkah Terjadi?

Editor: Ranto Rajagukguk

Related