Pengawasan Kurangi Tingkat Gagal Bayar pada P2P Lending

marketeers article
Pengawasan Kurangi Tingkat Gagal Bayar Pada P2P Lending (FOTO: 123RF)

Pemerintah, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu meningkatkan pengawasan untuk mengurangi risiko gagal bayar atau non-performing loan (NPL) pada peer-to-peer (P2P) lending/fintech. Pada Desember 2022, sejumlah 21 perusahaan telah diminta untuk memberikan dan menerapkan action plan untuk perbaikan kelancaran kredit bermasalah.

“OJK perlu meningkatkan pengawasan dan memberikan penalti terhadap platform yang mengalami masalah non-performing loans,“ kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Amira Husna Natanegara dalam keterangannya, Kamis (15/6/2023).

Tentu perlu adanya kelanjutan sanksi atau penalti bagi platform P2P lending yang gagal memenuhi action plan, penalti seperti pemberhentian distribusi pinjaman atau pencabutan lisensi sementara. Berdasarkan Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, fintech lending atau peer-to-peer lending (P2P lending) termasuk dalam Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), yakni penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan kreditur (pemberi pinjaman) dan debitur (penerima pinjaman) dalam rangka pinjam-meminjam uang menggunakan mata uang rupiah melalui sistem elektronik dengan jaringan internet.

BACA JUGA: OJK Ungkap 6 Tantangan Fintech P2P Lending pada 2023

P2P lending diminati karena menjadi solusi untuk banyak peminjam yang membutuhkan dana cepat dan accessible, terutama untuk kalangan unbanked dan underbanked. Namun, kemudahan dari skema pembiayaan P2P lending tidak lepas dari kemungkinan gagal bayar. 

Risiko ini sudah melekat akibat faktor-faktor yang ada pada model usaha P2P seperti profil borrower, gejolak ekonomi dan juga mismanagement dari P2P lending itu sendiri. Maraknya gagal bayar pada pinjaman platform P2P lending berawal sejak masa pandemi. 

Menurut data Statistik Fintech Lending yang dipublikasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penurunan Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) Fintech Lending pada Juli 2020 mencapai 5,61% dari tahun sebelumnya. TKB90 merupakan salah satu indikator keberhasilan pembayaran borrower atau peminjam dalam jangka waktu 90 hari.

BACA JUGA: Potensi Besar, Gen Z Jadi Rebutan Para Pemain P2P Lending

Amira menambahkan selain meningkatkan pengawasan, beberapa hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi risiko gagal bayar, yaitu platform P2P lending dapat diwajibkan untuk mengejar pinjaman yang menunggak dari borrower dan menuntaskan pembayaran kepada lenders sebelum kembali menyalurkan pinjaman baru. Kriteria borrower yang memiliki histori kredit bermasalah juga dapat dievaluasi kembali untuk penyaluran pinjaman ke depannya. 

Pemanfaatan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dan Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) yang dikelola oleh OJK juga dapat ditingkatkan, khususnya untuk penerapan manajemen risiko kredit atau pembiayaan. Saat ini, data pinjaman fintech lending tidak dicantumkan dalam SLIK.

OJK telah mewajibkan penyelenggara fintech untuk menyampaikan data transaksi pendanaan pada Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) melalui POJK Nomor 10 /POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Namun, perlu adanya integrasi Pusdafil dengan SLIK sehingga pemanfaatan data real-time terkait pengguna, transaksi pendanaan dan kualitas pendanaan dapat ditingkatkan oleh platform fintech maupun badan pengawas dalam untuk menyusun mitigasi risiko non-performing loans. 

Walaupun begitu, Amira menekankan pentingnya sosialisasi dan literasi berkala terhadap risiko-risiko yang melekat pada tipe pembiayaan P2P lending, terutama terhadap lender potensial.

“Hal ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat secara utuh agar dapat membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan ketika berinvestasi di P2P,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related