Potensinya Besar, Konsumen PLTS Atap Tumbuh 15 Kali

marketeers article
Ilustrasi PLTS Atap, sumber gambar: 123rf

Indonesia diberkahi dengan kekayaan alam yang sangat banyak. Salah satunya cahaya matahari yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Selain menjadi konsumen, masyarakat juga dapat memanfaatkan panas matahari untuk memproduksi listrik.

Nick Nurrachman, Produsen solar panel dan batteries sekaligus Senior Advisor Adyawinsa Group of Companies mengungkapkan, PLTS atap menjadi sektor yang pertama dapat dimanfaatkan untuk beralih dari energi kotor batu bara ke energi baru terbarukan (EBT). Dia pun melihat besarnya potensi tersebut dari pertumbuhan jumlah konsumen panel surya yang terus meroket setiap tahun.

“Kalau melihat perkembangan dari konsumen PLN yang telah memasang PLTS atap dalam empat tahun belakangan, sudah meningkat hampir 10 hingga 15 kali lipat. Pertumbuhannya sudah bukan deret hitung lagi, tapi sudah deret ukur. Pertumbuhannya sudah eksponensial,” ujar Nick kepada Marketeers, Senin (13/6/2022).

Menurutnya, agar industri PLTS atap dimanfaatkan optimal, pemerintah diminta perlu melakukan transisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sebab, selama 76 tahun Indonesia merdeka sangat bergantung pada energi kotor batu bara. Nick menyebut, lama proses transisi tergantung dari proses pembentukan ekosistem supply dan demand EBT oleh pemerintah.

“Lalu pekerjaan rumah besar yang terjadi ada di PLN. Pasalnya, sekarang sebagian besar masih menggunakan energi batu bara dan masih terikat kontrak. Bagaimana agar kesucian dari kontrak itu dijaga, tidak bisa serta-merta diputuskan dan arus dihormati sampai berakhir,” ujarnya.

Dari pengamatannya sebagai pengusaha, saat ini banyak pelaku bisnis yang mulai melakukan diversifikasi usaha mengarah ke EBT khususnya solar panel. Kondisi tersebut menunjukkan adanya tren permintaan yang cukup besar, terutama pada dunia industri. Sehingga mampu mempercepat proses transisi energi apabila mampu dioptimalisasi oleh pemerintah.

Di sisi lain, industri-industri besar yang rakus energi mulai menggunakan solar panel sebagai upaya diversifikasi. Secara terperinci, untuk memproduksi 1 megawatt (MW) dengan PLTS atap membutuhkan lahan 1 hektare (Ha) atau 100 meter dikalikan 100 meter. Sedangkan biaya pemasangan solar panel untuk memproduksi 1 MW listrik ramah lingkungan sebesar US$ 750 ribu di luar biaya perawatan.

Sementara itu, dari sisi harga jual listrik tenaga matahari pun semakin murah jika dibandingkan dengan listrik PLTU batu bara. Tercatat, harga listrik batu bara saat ini sebesar US$ 6 sen atau setara Rp 870 per kilo Watt hour (kWh). Sedangkan energi matahari dijual dengan harga US$ 5,8 sen per kWh.

Dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun lagi, lanjut Nick, bisnis energi telah bergeser menuju EBT lantaran kesadaran semua orang akan keberlanjutan lingkungan meningkat. Dia mencontohkan, di masa depan komoditas yang berbasis logam dan semikonduktor trennya akan membutuhkan EBT. Para pengusaha pun akan berpandangan produk yang menggunakan energi kotor akan mendapatkan resistensi atau penolakan di pasar dunia.

Ketika penggunaan EBT semakin massif dilakukan baik itu oleh perusahaan maupun rumah tangga, secara otomatis peran PLN sebagai distributor listrik akan berkurang. Dalam kondisi ini, perusahaan negara ini dituntut untuk segera bertransformasi. Peralihan menuju energi hijau pun mau tidak mau harus segera dilakukan.

“Pasar dunia akan memerlukan produk-produk akhir yang berbasis produksi dengan energi baru terbarukan. Di samping itu, para pemain bisnis baik itu komoditas logam, pertambangan, dan sebagainya akan berburu daerah-daerah atau negara kaya akan energi terbarukan yang kompetitif dan akan mencari energi hijau yang murah. Di situ, ia akan membangun industrinya terutama industri ekstraktif yang intensif terhadap energi,” pungkasnya.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related