PPN 12 Persen Berlaku dengan Pengecualian, Apa Dampaknya ke Penerimaan Negara?

marketeers article
PPN 12 Persen Berlaku Dengan Pengecualian, Apa Dampaknya Ke Penerimaan Negara? (FOTO: 123RF)

Setelah melalui perdebatan panjang, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menetapkan Pajak Pertambahan Nilai alias PPN sebesar 12 persen, tetapi hanya diberlakukan pada barang-barang tertentu.

Keputusan ini muncul di tengah rendahnya daya beli masyarakat, pemutusan hubungan kerja massal di industri padat karya, dan tekanan deflasi yang melanda akhir tahun 2024.

Kebijakan ini mendapat beragam tanggapan. Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta, mengapresiasi pembatalan rencana penerapan PPN 12 persen secara umum. Menurutnya, negara yang ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya justru memilih ekspansi fiskal dengan mengurangi pajak, bukan meningkatkannya.

Meski demikian, dampak kenaikan PPN terhadap penerimaan negara masih menjadi pertanyaan besar. Data menunjukkan bahwa meskipun tarif PPN naik, penerimaan negara melalui PPN dan Pajak Pertambahan Nilai untuk Barang Mewah (PPnBM) hanya berkisar di angka 3,5% dari PDB nominal.

“Pada 2022 dan 2023, penerimaan masing-masing tercatat sebesar 3,51% dan 3,55%, menunjukkan kenaikan yang sangat minim,” kata Krisna dalam siaran persnya kepada Marketeers, Minggu (5/1/2025).

BACA JUGA: APINDO Apresiasi Kebijakan Pembatalan PPN 12% untuk Semua Barang

Menurut Krisna, kenaikan tarif pajak secara teori dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Ketika aktivitas ekonomi menurun, penerimaan negara dari pajak juga tidak otomatis meningkat.

Selain itu, penerimaan PPN menjadi kurang optimal akibat pengecualian pada beberapa barang dan jasa serta rendahnya jumlah pengusaha yang tergolong Pengusaha Kena Pajak (PKP).

PPN hanya dikenakan kepada usaha yang dimiliki oleh PKP sesuai Undang-Undang PPN Tahun 1984. Meski begitu, tak semua PKP dikenakan PPN 12 persen.

Namun, menurut Krisna, karena kewajiban pemungutan PPN oleh PKP, banyak pengusaha kecil yang memilih tidak menjadi PKP karena batasan omzet yang ditetapkan Menteri Keuangan.

“Ini menciptakan fenomena bagi pelaku usaha untuk tetap berada di level non-PKP guna menghindari kewajiban pajak yang lebih tinggi,” katanya.

Krisna menekankan pentingnya mendorong lebih banyak usaha untuk menjadi PKP. Jika tarif pajak terus meningkat, insentif bagi usaha kecil untuk mendaftar sebagai PKP akan semakin berkurang.

“Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus pada ekstensifikasi, yakni memperluas basis wajib pajak, daripada intensifikasi melalui kenaikan tarif,” tuturnya.

BACA JUGA: Tak Perlu Panic Buying, Ini Daftar Barang yang Bebas PPN 12%

Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negara dengan memperbaiki kemudahan berusaha, mengurangi hambatan pasar, dan menciptakan ekosistem kewirausahaan yang sehat.

Langkah-langkah ini tidak hanya mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM), tetapi juga membantu meningkatkan jumlah PKP yang berkontribusi pada penerimaan negara.

Dalam konteks ini, kebijakan pajak yang adil dan efisien menjadi sangat penting. Dengan pendekatan yang tepat, pemerintah dapat mencapai tujuan fiskalnya tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi atau memberatkan pelaku usaha, terutama UKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Isu peningkatan tarif PPN hingga sekarang menjadi 12 persen bukanlah hal baru. Sejak 2019, Kementerian Keuangan telah fokus memperbaiki kondisi fiskal, termasuk melalui rasionalisasi keringanan pajak, pajak karbon, dan peningkatan tarif PPN.

Langkah ini dimulai dengan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS