Sektor Bisnis Jadi Kunci Strategis dalam Pemenuhan HAM

profile photo reporter YW Junardy
YWJunardy
06 Februari 2023
marketeers article
Ilustrasi. (FOTO: 123rf)

Oleh: Yaya Winarno Junardy, President di Indonesia Global Compact Network (Seri SDGs bagian ke-4)

Masih ingat kasus modern slavery di Benjina, Maluku, yang marak di media massa pada tahun 2015? Pada saat itu, terbongkar kasus kerja paksa oleh perusahaan perikanan dengan korban perbudakan mencapai ratusan orang dari beberapa negara, termasuk warga negara Indonesia.

Setelah melakukan investigasi, pemerintah Indonesia melakukan pencabutan izin 15 perusahaan yang tergabung di dalam empat grup perusahaan perikanan. Ini adalah salah satu contoh pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang tergolong ekstrem yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan mungkin terjadi hal yang sama di negara/kawasan lain.

Kasus ini juga memperlihatkan bahwa perusahaan yang tidak memperlakukan karyawan dengan semestinya, sudah tentu bisnisnya tidak akan berkelanjutan. Kita mengetahui dalam dunia bisnis bahwa karyawan adalah aset utama, karena merekalah penggerak utama sebuah perusahaan dalam melakukan inovasi, pengembangan produk, berkompetisi dalam pemasaran dan melayani kebutuhan pelanggan.

BACA JUGA: Kemitraan Multipihak: Kunci Utama Pencapaian SDGs

Korelasi antara Bisnis dan HAM pada kenyataannya berhubungan sangat dekat. Perusahaan biasanya tidak menuangkan kata HAM dalam setiap peraturan ataupun kebijakan perusahaan.

Namun, secara implisit telah mengintegrasikan aspek HAM dalam praktik bisnis, seperti: hak atas pekerjaan yang adil dan layak; hak untuk berserikat; hak atas kebebasan dari diskriminasi; hak atas kesehatan dan masih banyak lagi. Korelasi Bisnis dan HAM yang disebutkan di atas tidak hanya berlaku antara manajemen perusahaan dengan para pegawainya, tapi juga terhadap rantai pasoknya, pelanggannya hingga pemangku kepentingan lain yang turut terdampak dari setiap aktivitas bisnis.

Gerakan Global untuk Pemenuhan HAM yang Lebih Baik

Pada tahun 2005, Sekjen PBB menunjuk Professor John Gerard Ruggie sebagai Pelapor Khusus Bisnis dan HAM untuk melakukan riset terkait pelanggaran HAM yang terjadi di sektor bisnis di seluruh dunia. Riset yang dilakukan oleh Prof John Ruggie dan timnya tersebut menjadi awal pembentukan sebuah panduan prinsip yang bernama “United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights” atau yang sering disebut dengan UNGPs.

Panduan prinsip ini menekankan pada tiga pilar, yaitu: (1) Kewajiban negara untuk melindungi HAM; (2) Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM; (3) Akses atas pemulihan, baik secara yudisial maupun non-yudisial.

BACA JUGA: Bagaimana Bisnis Dapat Berkontribusi untuk SDGs?

Pada tahun 2011, Dewan HAM PBB mengadopsi rekomendasi dari Prof John Ruggie tersebut sehingga UNGPs dapat diterapkan di seluruh negara sebagai sebuah panduan prinsip yang bersifat tidak mengikat/sukarela. Semangat yang ingin dibangun adalah UNGPs menjadi panduan prinsip yang mengarusutamakan pemenuhan HAM di sektor bisnis dengan kesadaran penuh dari setiap pelaku usaha bahwa banyak sekali hal baik yang akan didapat apabila menerapkan UNGPs.

Dengan adanya kesepakatan bersama ini, maka diharapkan pemerintah bersama dengan sektor bisnis dapat bekerja sama dalam menerapkan panduan ini secara menyeluruh.

Indonesia Global Compact Network (IGCN) sejak tahun 2014 telah secara aktif melakukan diseminasi UNGPs, khususnya kepada sektor bisnis. Diseminasi dilakukan melalui pelatihan, lokakarya, seminar dan juga wadah digital dengan menggandeng berbagai Kementerian dan Lembaga, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta mitra-mitra seperti Shift dan ELSAM.

Bahkan, pada tahun 2016 hingga 2019 ini IGCN bersama dengan INFID dan Oxfam in Indonesia dengan dukungan dari European Union sangat gencar dalam menyebarkan konsep Bisnis dan HAM/UNGPs di sektor bisnis, institutsi pendidikan, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah melalui berbagai kanal dan metode.

Tentunya bagi sektor bisnis yang menerapkan UNGPs akan mendapatkan benefit secara bertahap yang tentunya dapat mendukung keberlanjutan bisnis yang dijalankan, seperti: karyawan lebih termotivasi, sehingga kemungkinan produktivitas meningkat akan lebih besar; produk dan jasa yang ditawarkan akan lebih diterima oleh masyarakat; bagi perusahaan terbuka, akan mendapat perhatian positif bagi para investor; kemungkinan peningkatan jumlah pelanggan setia semakin besar; dan masih banyak lagi.

Pergeseran Pola Berpikir dan Pola Komunikasi

Perbedaan yang sangat dirasakan dengan kehadiran UNGPs adalah adanya perubahan dinamika hubungan antara sektor bisnis dengan non-bisnis, seperti lembaga swadaya masyarakat. Terjadi pergeseran dari pola yang selalu berpikir negatif dan menjelek-jelekan atau “naming and shaming” menjadi pola yang lebih menekankan pada ruang untuk belajar dan memperlihatkan kembali penerapan UNGPs yang telah dijalankan atau “knowing and showing”.

Pergeseran ini turut menciptakan hubungan yang lebih damai dan lebih produktif dalam membentuk inisiatif untuk menerapkan UNGPs serta membangun kolaborasi antar pihak. Bagi rekan-rekan yang ingin mempelajari tentang UNGPs serta melihat serba-serbi korelasi antara Bisnis dan HAM dapat berkunjung ke website www.bisnisdanham.id.

Related