Sri Mulyani Protes RI Kerap Ditekan Pensiunkan PLTU Batu Bara

marketeers article
Pembangkit listrik tenaga uap (PTU) batu bara. Sumber gambar: 123rf

Indonesia kerap menghadapi tekanan dari dunia internasional untuk segera memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Hal ini dilakukan untuk mencegah risiko perubahan iklim yang kian memburuk di seluruh negara.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan mengatakan upaya tersebut tidak bisa serta-merta dilakukan oleh Indonesia. Pasalnya, konsekuensi keuangan dan finansial yang ditanggung pemerintah sangat besar apabila ekosistem transisi energi belum berjalan dengan baik.

BACA JUGA: Sri Mulyani Dorong Kendaraan Listrik Buatan RI Masuk Pasar AS

Sosok yang karib disapa Ani pun melayangkan protes kepada dunia internasional yang kerap menyudutkan kebijakan yang diambil Indonesia. Padahal, negara-negara lain masih banyak yang menggunakan PLTU sebagai pembangkit listrik.

“Kalau kita punya batu bara kan harusnya dipakai. Negara-negara lain seperti Eropa, Amerika, dan Jepang juga semuanya masih pakai batu bara. Kenapa Indonesia pakai batu bara menjadi masalah?” kata Sri Mulyani dalam acara Indonesian Data & Economic (IDE) Conference Katadata 2023 di Jakarta, Kamis (20/7/2023).

BACA JUGA: Sri Mulyani: Kaum Perempuan Jadi Motor Penggerak UKM Masa Kini

Sri Mulyani tidak menampik adanya masalah perubahan iklim yang kian memburuk akibat emisi karbon. Cuaca panas ekstrem terjadi hampir di seluruh negara, seperti Indonesia, India, Kanada, Cina, dan Amerika Serikat (AS).

Kondisi tersebut merupakan ancaman baru selepas merebaknya pandemi COVID-19. Sebab, cuaca ekstrem dipastikan bakal mengancam ketahanan ekonomi, khususnya di sektor pangan.

“Namun perubahan iklim tidak cuma dibicarakan, yang paling pelik untuk menangani perubahan iklim selain lifestyle kita itu uangnya. Kita tidak akan bisa mengurangi emisi kalau power plant-nya 60% masih berbasis batu bara,” ujarnya.

Sri Mulyani menuturkan untuk memensiunkan PLTU batu bara dan beralih menuju energi ramah lingkungan harus dilakukan sejak jauh-jauh hari. Seluruh ekosistem mulai dari kebutuhan modal hingga membangun carbon market harus dilakukan secara cepat, teliti, dan berdasarkan data-data faktual yang terjadi di lapangan demi menjaga kepentingan Indonesia.

“Ini negosiasi di level global mengenai kapan Indonesia harus ikut menangani climate change dunia. Namun, konsekuensi keuangan luar biasa, sama seperti pandemic yang menjadi krisis keuangan. Konsekuensi ekonomi dan finansial itu luar biasa, sehingga kami sering mengatakan untuk mengatasi masalah climate change tidak mungkin satu negara bekerja sendirian,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related