Survei: Hanya 4% Perusahaan Manufaktur Bisa Atasi Kenaikan Harga

marketeers article
Ilustrasi pabrik pengolahan makanan. Sumber gambar: 123rf.

Asosiasi Brand Eropa (European Brands Association/AIM) melaporkan hasil survei terbarunya terkait respons perusahaan manufaktur menghadapi gejolak kenaikan harga. Hasilnya, hanya 4% perusahaan yang mampu mengatasi kenaikan harga.

Michelle Gibbons, Direktur AIM mengatakan hampir seluruh aspek produksi dan distribusi perusahaan manufaktur di Eropa mengalami kenaikan. Di antaranya seperti harga energi, bahan baku, pengemasan, dan logistik melonjak. 

BACA JUGA: Industri Mainan RI Makin Diminati Dunia, Ekspor Tembus Rp 5,9 Triliun

Alhasil, mayoritas pengusaha mengerem produksi, investasi, dan inovasi. Michelle menyebut survei dilakukan dengan melibatkan sebanyak 664 produk konsumen besar dan industri kecil di sektor makanan dan minuman, rumah tangga, serta perawatan pribadi. 

Adapun rentang waktu yang dilakukan selama tiga tahun terakhir mulai dari merebaknya pandemi COVID-19 hingga saat invasi Rusia ke Ukraina.

BACA JUGA: Order Turun 51%, Industri Tekstil PHK 79.316 Pekerja

“Hanya 4% dari perusahaan yang disurvei berhasil membebankan kenaikan biaya secara penuh kepada pengecer. Dengan demikian, 96% harus menyerap kenaikan biaya yang tidak direncanakan. Sepertiga mampu menanggung hingga 50% dari peningkatan biaya,” kata Michelle dilansir dari retaildetail.eu, Jumat (16/12/2022).

Menurutnya, temuan lain dari survei ini adalah sebanyak 56% produsen mengalami kenaikan biaya energi sebesar 30%. Sementara itu, satu per empat lainnya mengalami kenaikan hingga 60%. 

Selanjutnya, terhambatnya rantai pasok menyebabkan biaya pengiriman barang meroket sebesar 30%. Ini dialami oleh 36% responden yang disurvei.

Kemudian, terkait dengan bahan baku juga mengalami kenaikan harga sebesar 30%. Hal ini dikeluhkan oleh 43% perusahaan manufaktur.

Lebih buruknya lagi, perusahaan yang telah melantai di bursa saham harus mengalami delisting. Adapun delisting adalah kondisi penghapusan saham di bursa efek sehingga sahamnya tidak dapat lagi diperdagangkan. Sebanyak 27% responden mengalami situasi tersebut.

“Sehingga perusahaan memilih untuk menaikkan harga di tingkat konsumen dibandingkan harus bernegosiasi dengan pelanggan,” ujarnya.

Dengan situasi yang makin berat membuat 42% perusahaan harus memangkas investasi yang direncanakan pada tahun 2022. Kemudian, 32% lainnya memilih untuk mengurangi dana penelitian dan pengembangan.

“Sebanyak 23% perusahaan manufaktur harus memangkas tenaga kerjanya. Ada pula tiga per empat lainnya mempertimbangkan pengurangan lebih lanjut dalam produksi jika tidak ada solusi yang ditemukan untuk menekan kenaikan biaya,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related