The Trade Desk: Open Internet Jadi Tren Digital Marketing 2022

marketeers article
Open Internet

Saat ini, proses digitalisasi perusahaan berkembang akibat didorong oleh pandemi COVID-19. Adanya pembatasan kegiatan membuat orang melalukan berbagai aktivitas secara online, termasuk berbelanja. Hal ini lalu mendorong para merek banyak melakukan aktivitas pemasaran dengan memanfaatkan peran digital. Hasilnya, The Trade Desk melihat banyak pengiklan digital mulai beralih ke Open Internet.

Berdasarkan data terbaru dari Global Web Index, orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu sekitar 8,5 jam setiap hari untuk online. Lebih dari setengahnya dihabiskan di open internet, seperti konten berita online, over the top (OTT) dan streaming musik. Pada praktiknya, OTT merupakan kanal open internet yang paling tinggi pertumbuhannya.

Hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi konten di Indonesia sekitar 16% sejak kuartal tiga tahun 2021. Sedangkan, pertumbuhan media sosial hanya tumbuh sekitar 2%. Menurut The Trade Desk, itu artinya pada tahun 2022 dapat menjadi peluang bagi para pengiklan untuk meningkatkan pertumbuhannya melalui tren digital marketing yang ditawarkan open internet.  Bagaimana agar maksimal?

Memanfaatkan data agar lebih fleksibel

Kondisi pasar sekarang sangat dinamis. Artinya, dapat berubah dalam hitungan detik. Dengan demikian, para pengiklan perlu beralih ke periklanan berbasis data atau pengiklanan terprogram. Langkah ini mampu memberikan audiens fleksibilitas untuk mengatur secara penuh dan memanfaatkan setiap data yang tersedia untuk membeli impresi iklan sesuai dengan nilai yang relatif sesuai target bisnis. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dengan kekuatan data, pengiklan mampu menampilkan atau memberhentikan kampanye secara real-time, menyesuaikan anggaran bahkan mengganti materi kreatif disaat kampanye sedang berjalan. Periklanan terprogram mampu dapat memastikan hal dasar seperti keberhasilan suatu kampanye dan iklan sampai ke audiens dengan perangkat yang akurat dan frekuensi paparan yang tepat sasaran.

Seperti yang ditawarkan The Trade Desk, yaitu platform pembelian iklan berbasis artificial intelligence (AI) yang memberikan wawasan di setiap tahap perjalanan digital konsumen. Misalnya, menganalisis perangkat mana dan ekosistem seperti apa yang menghasilkan konversi terbanyak.

Menghubungkan periklanan dengan hasil bisnis di dunia nyata

Dahulu, pengiklan sangat bergantung pada indikator kerja utama seperti cost per thousand (CPM), cost per action (CPA) dan click through rates (CTR) untuk mengukur kinerja suatu kampanye. Pandemi telah mempertajam fokus terhadap pengukuran dampak iklan atau kampanye ke hasil bisnis, seperti penjualan offline dan online, kunjungan ke toko dan persepsi merek.

Memasuki tahun pemulihan seperti saat ini, pengiklan juga menilai kembali cara pengukuran iklan dalam dunia phygital atau physical dan digital. Hal ini dilatarbelakangi oleh perubahan aktivitas konsumen antara online dan offline.

Di platform The Trade Desk, perusahaan seperti sektor hiburan, properti, otomotif, FMCG, fashion dan pariwisata dapat menggunakannya untuk mengukur berapa kunjungan toko secara offline yang dihasilkan dari kampanye digital. Dengan menggunakan wawasan dari data lokasi, pengiklan yang memiliki toko fisik dapat mengoptimalkan kampanye pemasaran untuk merancang strategi media bisnis yang lebih baik lagi.

Strategi Pemasaran Omnichannel

Di tengah perkembangan teknologi digital, konsumen memiliki beragam jenis pilihan dari perangkat dan konten. Baik dari situs web, aplikasi mobile, OTT, dan streaming audio. Dilansir dari data Global Web Index, lebih dari 30% pengguna internet di Indonesia memiliki lebih dari dua perangkat dan 7% di antaranya bahkan memiliki lima perangkat sekaligus.

Audiens yang terus berpindah-pindah platform, menuntut pengiklan perlu memberikan lebih banyak cerita unik di open internet. Misalnya, kampanye yang dilakukan pagi hari menggunakan iklan berbasis audio di radio digital, lalu di siang hari menampilkan iklan di desktop seperti aplikasi mobile dan ditutup dengan iklan berbasis video pada malam hari di kanal OTT. Perjalanan seperti ini hanya bisa dilakukan di open internet.

Singkatnya, konsumen saat ini memiliki cara hidup yang beragam. Oleh sebab itu periklanan yang efektif harus mampu merefleksikan keberagaman tersebut.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related