Wajah Media Berubah, Apa yang Harus Dilakukan Praktisi PR?

marketeers article

Demam online  mengubah perilaku PR dalam menghadapi media. Wanny Bhakti, salah satu konsultan PR menyebutkan jika sebelumnya mayoritas media dikuasai oleh media tradisional, lain halnya dengan sekarang.

“Di dunia otomotif misalnya, 70% adalah media online. Jika media online lebih besar, PR juga harus lebih cepat dalam menginformasikan sesuatu,” kata Wanny, yang telah meniti karier sebagai PR selama 30 tahun.

Dalam melakukan pendekatan, Wanny melihat relasi harus dibangun dari dua sisi. Pertama, media itu sendiri. Dalam hal ini, PR membangun relasi dengan seluruh jurnalis dari sebuah media, sebut saja Kompas, Tempo, Marketeers, atau lainnya. Kedua, menjalin relasi dengan jurnalis.

“Jadi ada media yang belum terlalu kelihatan, tapi kita kenal dengan jurnalisnya. Artinya dalam aktivitas, kita harus menentukan lebih pilih media atau orangnya,” kata Wanny.

Dalam menentukan jangkauan publikasi, PR juga harus melihat apa tujuan serta target yang ingin disasar perusahaan. Misalnya untuk acara Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2018. Jika acaranya adalah pembukaan, maka PR bisa saja mengundang seluruh media yang ada. Namun, lain halnya jika acaranya bersifat spesifik, misal membahas kecanggihan teknologi, regulasi, hingga strategi pemasaran.

Sebagai PR tentunya menghadirkan news value menjadi hal yang krusial. PR bukan hanya menjadi jembatan antara perusahaan dan media, melainkan juga sebaliknya. Wanny mengambil contoh ketika dirinya diminta untuk mengurus brand otomotif asal China, Chery QQ. Kala itu, mobil buatan Negeri Panda kerap menuai kontroversi dan sulit diterima oleh masyarakat luas, termasuk media sendiri.

“Produk itu memang memiliki banyak kekurangan. Ketika menggelar test drive, saya tidak menonjolkan bahwa produk kami telah bagus. Justru, kami meminta masukan kepada media agar produsen bisa melakukan penyempurnaan,” kenang Wanny. Yang harus menjadi catatan, PR tidak boleh menutupi fakta atau berbohong. “Namun, kita juga harus tahu mana yang boleh dan tidak boleh kita sampaikan.”

Karenanya, PR harus bisa berpikir kreatif. Praktik memberikan ‘amplop atau fee’ kepada media harus dihindari. Meski bisa mempercepat proses publikasi, namun hal itu tidak akan mengedukasi. “Kita juga tidak pernah tahu bagaimana kualitas kita sebagai profesional,” kata Wanny.

Sebagai profesional, PR juga tidak boleh ragu dalam berinvestasi. Yang dimaksud di sini adalah belajar hal lain, seperti keuangan, legal, mengikuti seminar, hingga dalam hal menjalin hubungan. “Ketika luang, saya akan bertemu dengan media sebagai teman. Hal itu yang membuat hubungan saya dengan media menjadi baik,” katanya.

 

Artikel selengkapnya bisa Anda dapatkan 
di Majalah Marketeers edisi September dengan tajuk
‘Ultimate Guide to Public Relations’

Related