CIPS: Industri Mamin Dapat Terbantu dengan Bahan Baku Impor

marketeers article
CIPS: Industri Makanan dan Minuman dapat Terbantu dengan Bahan Baku Impor (FOTO: 123RF)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai industri makanan dan minuman (mamin) akan dapat didorong pertumbuhannya lebih jauh bila diberi kemudahan untuk impor bahan baku. Sayangnya, impor masih dianggap sebagai kebijakan yang tidak nasionalis dan tidak populer. 

Kementerian Perindustrian (Kemenperin), misalnya, mengurangi ketergantungan impor barang setengah jadi untuk industri mamin agar dapat memperkuat industri hulu.

“Bahan baku industri makanan dan minuman bergantung pada pasokan barang setengah jadi dari produksi dalam negeri dan impor, seperti gula, kedelai, gandum, bawang putih, minyak sayur dan tepung,” kata Peneliti CIPS Hasran dalam keterangannya, Rabu (15/2/2023).

Padahal, impor bukan semata untuk dikonsumsi, tetapi juga menjadi input untuk menambah nilai tambah dari produk yang dihasilkan industri mamin. Penelitian CIPS terbaru yang berjudul “Pentingnya Perdagangan Bagi UKM Sektor Makanan Minuman di Indonesia” menunjukkan, impor bahan baku oleh perusahaan makanan dan minuman berskala kecil dan mikro, menghasilkan peningkatan output, nilai tambah, upah, serta margin intensif.

BACA JUGA: Jelang KTT G20, Omzet Bisnis Makanan di Bali Tembus Rp 1 Miliar

Kebijakan pelarangan impor oleh pemerintah yang disebut untuk mendukung perusahaan Indonesia berpotensi merugikan industri yang ketersediaan bahan bakunya perlu dipastikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan industri ini berkontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan mengalami pertumbuhan tertinggi di antara industri nonmigas, dengan rata-rata sebesar 7,78%. 

Industri ini juga satu-satunya industri nonmigas yang mengalami surplus perdagangan. Industri ini juga pemberi kerja terbesar di luar sektor migas tahun 2019, menyerap 17,8% dari angkatan kerja di industri nonmigas di tingkat perusahaan besar dan menengah serta 36% di tingkat Usaha Kecil dan Menengah (UMK).

Sekitar 36% pekerja di perusahaan mamin besar dan menengah adalah perempuan. Sementara itu, di UKM, angkanya mencapai 56% di industri makanan dan 58% di industri minuman.

“Untuk itu, memastikan ketersediaan bahan baku menjadi sangat penting. Dalam jangka panjang, kontribusi ini bisa terus meningkat seiring tumbuhnya industri ini di dalam negeri,” ucapnya.

BACA JUGA: CIPS: Perlindungan Konsumen Digital Masih Perlu Peningkatan

CIPS merekomendasikan agar pemerintah meninjau kebijakan substitusi dan pengurangan impor dalam produksi pangan dalam kaitannya dengan pertumbuhan industri mamin serta memisahkan data industri sawit dari industri mamin pada umumnya.

“Industri makanan minuman di Indonesia didominasi oleh minyak sawit dan turunannya. Sementara pemerintah, dalam melaporkan pertumbuhan industri ini, tidak memisahkan aktivitas sawit dengan nonsawit. Ini berarti data pertumbuhan industri lebih mencerminkan pasar komoditas minyak sawit daripada sektor manufaktur industri makanan minuman secara keseluruhan,” ucap Hasran.

Pemerintah juga harus meningkatkan kualitas data dan aksesibilitasnya bagi publik. Evaluasi secara real time terhadap kebijakan Neraca Komoditas dan kebijakan hilirisasi dalam negeri juga diperlukan.

Terakhir, dalam menjaga kesejahteraan petani dalam negeri, pemerintah bisa menggunakan instrumen lain selain pembatasan impor seperti misalnya pemberian bantuan langsung tunai, pelatihan teknologi pertanian, dan peningkatan skill petani.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related