CIPS: Pembentukan Dewan Media Sosial Ancam Kebebasan Berbicara

marketeers article
Ilustrasi pembatasan media sosial. (FOTO: 123RF)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai wacana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berpotensi membatasi kebebasan masyarakat dalam berbicara dan berekspresi di ruang digital.

Muhammad Nidhal, Peneliti CIPS mengatakan, dampak pembentukan DMS akan bergantung pada independensi dan implementasinya di lapangan. Ia mengkhawatirkan, kehadiran DMS bisa membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi jika digunakan untuk menekan suara-suara minoritas atau yang berbeda pendapat.

Hingga saat ini, wewenang DMS Indonesia yang diwacanakan oleh Kemenkominfo masih belum jelas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi bertentangan dengan prinsip dan standar internasional terkait perlindungan kebebasan berekspresi dan keberagaman pendapat di ranah digital.

BACA JUGA: CIPS: Migrasi Data TikTok ke Tokopedia Harus Utamakan Aspek PDP

“Dampaknya bisa beragam, tergantung pada independensi dewan dan implementasinya di lapangan. Kehadiran DMS dikhawatirkan membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi jika digunakan untuk menekan suara-suara minoritas atau yang berbeda pendapat,” jelas Nidhal dalam siaran pers kepada Marketeers, Kamis (6/6/2024).

Namun, Nidhal juga mengakui bahwa pembentukan DMS merupakan langkah strategis untuk menjaga aktivitas masyarakat di ranah digital, khususnya media sosial.

Pembentukan DMS juga merupakan hasil dari beberapa rekomendasi global seperti badan khusus PBB UNESCO dan organisasi HAM Internasional ARTICLE 19.

BACA JUGA: Mirip Kecanduan Medsos, 3 Gangguan Mental Ini Bikin Susah Konsentrasi

Dengan budaya peraturan yang semakin mengedepankan pengaturan bersama (koregulasi), Dewan Media Sosial dapat mengarah pada pengaturan yang lebih baik dan jelas terhadap konten dan aktivitas berbahaya di media sosial.

Mekanisme pengaturan mandiri (self-regulation) yang selama ini diterapkan oleh platform media sosial terkait moderasi konten dinilai masih terdapat bias dan diskriminasi karena kurangnya pemahaman konteks lokal.

Oleh karena itu, DMS diharapkan dapat menghadirkan pengaturan bersama yang lebih jelas, partisipatif, dan transparan sesuai standar global untuk praktik moderasi konten.

BACA JUGA: Didesak Regulasi, TikTok Siapkan Algoritma untuk Pengguna di AS

Langkah-langkah keamanan dan keselamatan online juga bisa lebih baik untuk meminimalisir konten berbahaya seperti ujaran kebencian, misinformasi, disinformasi, serta cyberbullying.

Meski demikian, pembentukan DMS yang tidak ideal juga memunculkan potensi kekurangan seperti penyensoran dan pembatasan kebebasan berekspresi.

Selain itu, ada kekhawatiran akan kurangnya transparansi atau penyalahgunaan kekuasaan oleh Dewan. Nidhal menekankan bahwa idealnya DMS harus independen, transparan, inklusif, dan akuntabel.

Dewan ini harus memprioritaskan pelindungan hak-hak digital pengguna media sosial dan tidak berperan aktif dalam melakukan pengawasan digital terhadap konten yang dibuat pengguna.

Dengan demikian, DMS sebenarnya dapat memainkan peran positif dan efektif dalam membela dan mempromosikan hak atas kebebasan berekspresi dalam pengembangan akuntabilitas moderasi konten. DMS juga diharapkan bisa berkontribusi pada lingkungan online yang lebih terbuka, kondusif, dan bertanggung jawab.

Nidhal merekomendasikan beberapa langkah terkait wacana pembentukan DMS. Pertama, Kemenkominfo perlu melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk kelompok masyarakat sipil, para ahli, akademisi, dan perusahaan media sosial dalam proses pembentukannya.

BACA JUGA: Kembangkan Video AI, Meta dan Google Ajak Hollywood Jalin Kerja Sama

Kedua, Kemenkominfo perlu memastikan DMS beroperasi secara independen dan berada di luar lembaga eksekutif pemerintah.

Artinya, komposisi DMS sebaiknya berisi perwakilan dari seluruh kelompok termasuk platform, ahli, akademisi, regulator, dan masyarakat sipil agar lebih memahami perkembangan konteks lokal dan menghasilkan keputusan yang lebih inklusif.

Ketiga, DMS perlu transparan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan keragaman pendapat di ranah digital, dipandu oleh standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan hak-hak dasar HAM lainnya.

Terakhir, dibutuhkan adanya pedoman dan mekanisme pengawasan yang jelas dan transparan untuk moderasi konten di Indonesia guna mencegah kontrol berlebihan pada ruang digital.

Dengan mengikuti rekomendasi-rekomendasi ini, diharapkan Dewan Media Sosial dapat berperan dalam menjaga kebebasan berekspresi di ranah digital tanpa mengorbankan keamanan dan keselamatan online.

Editor: Eric Iskandarsjah 

Related

award
SPSAwArDS