Ekspor Cina mencatat lonjakan signifikan pada bulan Maret 2025. Perusahaan-perusahaan domestik diketahui ramai-ramai melakukan pengiriman ke luar negeri demi menghindari kenaikan tarif Amerika Serikat (AS).
Dilansir CNBC, Senin (14/4/2025), ekspor Cina melejit 12,4% bulan lalu dalam dolar AS dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Ini melampaui estimasi Reuters untuk pertumbuhan 4,4% dan mengalami peningkatan terbesar sejak Oktober tahun lalu.
BACA JUGA: First Timer ke Cina? Catat 6 Hal Penting Ini Sebelum Berangkat!
Sementara itu, impor turun 4,3% pada bulan Maret dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun ekspektasi para ekonom penurunan impor Cina hanya sekitar 2%.
Dalam dua bulan pertama tahun ini, ekspor Cina telah melambat lebih dari yang diharapkan, tumbuh hanya 2,3% secara year on year (yoy). Impor tercatat turun lebih tajam dari perkiraan yang mana merosot 8,4% yoy, menjadi terendah sejak pertengahan 2023.
BACA JUGA: Jawab Masalah Rambut Lepek, L’Oréal Professionnel Rilis Scalp Advanced 5-in-1 Serum
“Ekspor kemungkinan melemah dalam beberapa bulan mendatang karena tarif AS meroket. Dalam jangka pendek, saya memperkirakan adanya kekacauan dalam rantai pasokan dan potensi kelangkaan di AS yang dapat meningkatkan inflasi, kata Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management.
Zhang menyatakan kebijakan perdagangan masih sangat tidak pasti sehingga menambah tantangan bagi bisnis yang ingin menyesuaikan rantai pasokan serta rencana belanja modal.
BACA JUGA: Sinopsis Ne Zha 2, Film Animasi yang Sarat Filosofi Cina
“Bahkan jika perusahaan memutuskan untuk merelokasi rantai pasokan mereka, dibutuhkan waktu untuk membangun pabrik, ujar Zhang.
Cina telah menetapkan target pertumbuhan yang ambisius sebesar 5% untuk tahun ini. Target ini terlihat lebih sulit untuk dicapai, mengingat adanya perang dagang yang meningkat dan konsumsi domestik yang terus lesu.
Sejak pelantikan pada bulan Januari, Presiden AS Donald Trump telah memberlakukan tarif kumulatif 14% untuk semua impor dari Cina, termasuk bea masuk 20% yang diduga terkait dengan peran Beijing dalam perdagangan fentanil. Cina telah membalas dengan kenaikan tarif tit-for-tat, termasuk pungutan hingga 15% yang menargetkan barang-barang tertentu dari AS sehingga tarif keseluruhan sebesar 125%.
Seruan untuk Stimulus
Pemerintah Cina telah dituntut untuk mengeluarkan langkah-langkah stimulus yang lebih kuat demi menopang konsumsi domestik, pasar properti, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap ekspor dan investasi. Data yang dirilis pekan lalu menunjukkan konsumen Cina masih enggan untuk berbelanja.
Alhasil, harga-harga konsumen mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut, sementara harga-harga produsen merosot selama 29 bulan. Sejumlah bank yang bergerak di bidang investasi telah memangkas proyeksi pertumbuhan Cina tahun ini seiring penerapan tarif AS terhadap barang-barang Tiongkok.
Goldman Sachs memperkirakan ekonomi terbesar kedua dunia tersebut hanya tumbuh 4% tahun ini, turun 0,5 poin atau perkiraan sebelumnya. Sekalipun Beijing melonggarkan kebijakan untuk mengatasi gangguan tarif, Goldman Sachs memprediksi tetap tidak bisa mengimbanginya.
Editor: Ranto Rajagukguk