Marketing Based on SDGs 2030

profile photo reporter Taufik
Taufik
17 Februari 2023
marketeers article
Ilustrasi. (FOTO: 123rf)

Oleh Taufik, Deputy Chairman MarkPlus Corp dan Sekjen IMA

Foto dan video dari dua aktivis lingkungan muda, yang melempar saus tomat ke sebuah lukisan Van Gogh dan aksi lain yang dilakukan secara demonstratif mengundang orang untuk meliputnya. Jelas memicu kekagetan banyak orang. 

Apa salah Van Gogh yang sudah meninggal ratusan tahun lalu? Bukankah dia hanyalah seniman dan bukan pembuat kebijakan atau pengusaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan?

Kedua aktivis berusia 20 tahun dan 21 tahun itu langsung ditahan. Lebih repot lagi, upaya menarik perhatian akan pentingnya pelestarian lingkungan bisa-bisa malah luput dari perhatian karena perhatian lebih banyak ke lemparan saus tomat ke lukisan Van Gogh. 

BACA JUGA: A Big Marketing Event With A Very Limited Marketing Campaigns

Kaus yang dikenakan kedua aktivis dengan tulisan Just Stop Oil bisa jadi tidak banyak yang memperhatikan. Barangkali kedua aktivis dari kalangan Gen Z itu dilanda rasa frustrasi karena menganggap upaya mencegah atau mengurangi kerusakan lingkungan belum kuat. 

Sejak Greta Thunberg, aktivis dari kalangan Gen Z yang selama beberapa tahun terakhir aktif mengampanyekan perlunya langkah-langkah konkret yang signifikan dalam mencegah kerusakan lingkungan dunia, termasuk mencoba melakukan engagement dengan para pemimpin dunia, banyak kalangan Gen Z yang menganggap belum ada kemajuan berarti. Padahal, kerusakan lingkungan sudah terasa dampaknya sekarang.   

Perubahan iklim adalah bukti nyata bahwa yang namanya kerusakan lingkungan berat, perlu langkah konkret yang signifikan untuk mengatasinya. Pada tahun 2022, misalnya, dunia menyaksikan sejumlah negara yang mengalami suhu panas yang begitu tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

BACA JUGA: Rahasia di Balik Pertumbuhan Fenomenal BRI

Tak lama kemudian, muncul bencana banjir besar di berbagai negara. Kalau sekarang saja, berbagai tantangan lingkungan, seperti sulit untuk diatasi, bagaimana dengan tahun 2030? 

Padahal, seluruh anggota PBB telah bersepakat untuk mencapai 17 target Sustainable Development Goals (SDGs), yang salah satunya terkait lingkungan. Kalau yang soal lingkungan yang dampak nyatanya gampang dilihat, bagaimana dengan 16 target lainnya?

Bisa jadi langkah dua aktivis Gen Z yang melempar saus tomat menggambarkan rasa frustrasi atas masih terbatasnya langkah konkret mengatasi kerusakan lingkungan. Kedua aktivis itu berbeda dengan kaum muda pada tahun 1960-an yang dikenal sebagai flower generation yang mengampanyekan antiperang, khususnya perang Vietnam. 

Masalahnya, perang yang terjadi di banyak tempat, tidak banyak dampak langsung yang dirasakan oleh para aktivis antiperang. Sementara itu, para aktivis lingkungan merasakan dampak langsung perubahan iklim dan melihat belum signifikannya langkah konkret dalam mengatasi kerusakan lingkungan membuat mereka gampang frustrasi. 

Mereka jadi dianggap kelompok radikal karena tidak mau menempuh jalan panjang membangun kesadaran. Apalagi, mengatasi kerusakan lingkungan bukan hanya soal kebijakan dan peraturan, tapi juga perubahan perilaku.    

Rasa frustrasi makin kuat ketika mereka, misalnya, melihat banyak perusahaan minyak dan gas yang dianggap sebagai kontributor utama kerusakan lingkungan, justru menikmati laba besar dalam dua tahun ini. Selain itu, dipicu perang di Ukraina, harga bahan bakar naik tinggi, dan membuat laba perusahaan tersebut menjadi lebih besar lagi. 

Ketika ada sejumlah eksekutif puncak mendorong pengenaan windfall profits tax, supaya bisa membantu masyarakat yang kerepotan karena kenaikan harga bahan bakar, belum ada langkah konkret yang dilakukan. Moga-moga langkah lempar saus tomat itu tidak kontraproduktif dengan upaya panjang pencapaian target SDGs 2030. 

Di Indonesia, misalnya, sejak tahun 2008, Indonesia Marketing Association dan juga sejumlah perusahaan, termasuk MarkPlus Corp., telah bergabung dalam semacam aliansi untuk mendukung Indonesia bisa mencapai target SDGs 2030 yang disebut Indonesia Global Compact Network (IGCN). Ini dilakukan, karena 17 SDGs, termasuk lingkungan, butuh kolaborasi banyak pihak. 

Sebetulnya, bukan hanya kolaborasi banyak pihak, tapi juga kerja sama lintas generasi. Karena generasi yang berbeda secara umum punya peran yang berbeda. 

Ada kelompok generasi yang secara umum  memegang kebijakan, peraturan atau dana, dan ada generasi seperti Gen Z yang secara umum belum punya wewenang atau dana, tapi ikut merasakan dampak kalau misalnya tidak ada upaya konkret yang signifikan yang dilakukan. Membawa generasi atau pihak yang berbeda-beda bergerak ke arah yang sama membutuhkan upaya penyelarasan tujuan dan ukuran keberhasilan dari generasi atau pihak yang berbeda tersebut. 

Silent generation atau baby boomers dan generasi X yang punya pengaruh besar atau bahkan memegang wewenang dalam kebijakan dan dana ingin punya legacy yang bagus. Sementara itu, Gen Y dan Gen Z ingin bisa hidup yang lebih bagus dibandingkan generasi pendahulu mereka. 

Visi 2030 merupakan sebuah visi yang bisa mengakomodasi upaya penyelarasan tujuan dan ukuran keberhasilan dari berbagai generasi dan pihak yang berbeda. Itulah yang sebenarnya menjadi latar belakang munculnya IGCN. Hanya saja mengetahui mengenai IGCN belum banyak.

Padahal, banyak pihak yang sebetulnya secara sporadis ikut menjalankan upaya pemenuhan target SDGs 2030 sekalipun belum menjadi anggota IGCN. Karena sporadis dan tidak terlihat proses dan sistematika dalam membangun kesadaran pemenuhan target SDGs 2030 inilah yang membuat IGCN menjadi berbeda. 

IGCN setiap tahun mendorong perusahaan yang menjadi anggotanya untuk mengisi survei dan evaluasi mengenai pencapaian target SDGs 2030. Menariknya, meski merupakan self evaluation, para anggota justru didorong untuk mempublikasikan hasilnya. 

Dengan demikian, bisa menjadi alat komunikasi membangun brand association sebagai salah satu yang peduli dengan pencapaian SDGs. Ketika dulu mulai merintis mengenai konsep 5A, Awareness, Appeal, Ask, Act, dan Advocate, MarkPlus Corp. mendorong perusahaan menjadi advocate terhadap suatu perusahaan atau merek. 

Pada awalnya, advocacy berbasis pada kualitas produk dan layanan. Akan tetapi, karena melihat bahwa makin lama kualitas produk dan layanan antara satu perusahaan atau satu merek dengan yang lainya tidak mudah dibedakan, maka MarkPlus mengampanyekan Brand For Good. 

Namanya saja Brand For Good, maka mudah ditebak maksudnya. Ini mencakup perusahaan atau brand yang mau berbuat kebajikan, termasuk kebajikan yang menjadi bagian 17 SDGs. Dengan begitu diharapkan bisa menjadi semacam tambahan diferensiasi agar bisa direkomendasikan pelanggan.

Di luar negeri, kebajikan yang dilakukan perusahaan atau brand yang terkait dengan 17 SDGs, misalnya, bisa membuat perusahaan meminimalkan brand haters dan memperbanyak brand lovers. Tentu mereka bukan hanya melihat pada kampanye saja, tapi juga aksi konkret. 

Contohnya, perusahaan tidak melakukan diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja dan terlihat di lapangan. Mulai tahun 2022, proses pengisian survei untuk para anggota IGCN mengalami perubahan. 

Selain mencakup unsur yang lebih lengkap terkait dengan 17 SDGs dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya, juga mulai ada pertanyaan apakah ada tim khusus yang didedikasikan untuk mendukung pencapaian SDGs 2030 atau bahkan menjadikan pencapaian salah satu SDGs sebagai business model-nya. Tentu, yang tersebut terakhir bisa menjadi diferensiasi yang solid.

Sejumlah perusahaan minyak dan gas, misalnya, mencoba menjadikan diri sebagai perusahaan energi. Perusahaan-perusahaan tersebut juga mulai memiliki bisnis energi ramah lingkungan, mulai dari panas bumi hingga energi berbasis sinar matahari. 

Memang secara kontribusi, masih terlihat kecil dibandingkan dengan energi berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan. Hal itu sudah menunjukkan bukan lagi sekadar punya kesadaran atau mindfulness untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan, tapi sudah menjadi aksi nyata. 

Sesuatu yang layak untuk diapresiasi. Selain 5A dan Brand For Good, MarkPlus yang merupakan anggota IGCN mulai tahun ini memperkenalkan yang namanya Brand Employer Index. 

Ini untuk melihat lembaga atau perusahaan yang layak dipilih Gen Z sebagai tempat kerja. Salah satunya adalah bagaimana perusahaan menjawab tuntutan Gen Z akan Purpose, Planet, People, dan Profit. 

Cara semacam ini diharapkan bisa lebih menarik perhatian untuk membangun kesadaran perlunya mencapai 17 target SDGs dibandingkan dengan cara yang memang menarik perhatian, tapi bisa kontraproduktif, seperti melempar saus tomat. Memang, tidak bisa langsung segera terlihat hasilnya Akan tetapi, mungkin bisa lebih bertahan lama.

Related